Investasi dalam Islam

Oleh: Mariyam Sundari

(Aktivis Muslimah)

 

Dalam Islam, kegiatan investasi yang dilakukan wajib terikat pada syariat Islam. Oleh karena itu, siapapun yang ingin terlibat dalam investasi harus memahami hukum-hukum syariat secara seksama. Dengan begitu, ia bisa terhindar dari investasi yang diharamkan dalam Islam.

Dalam hal permodalan, harta yang dijadikan modal haruslah diperoleh secara halal, baik dari harta milik pribadi ataupun dari sumber lain yang halal. Investasi dalam sektor pertanian, perindustrian, hingga perdagangan harus sesuai Islam. Dalam aspek industri, misalnya beberapa hukum Islam yang bersinggungan dengan sektor itu harus dipatuhi seperti bentuk syirkah, ijarah, jual-beli, perdagangan internasional, dan istishna‘.

Sebaliknya, beberapa model transaksi haram diterapkan dalam kegiatan investasi seperti riba, judi, pemberian harta yang tidak wajar, penipuan, penimbunan, dan ketertiban pemerintah dalam menetapkan harga pasar. Termasuk dalam hal ini adalah model kerjasama yang mengadopsi model kapitalisme seperti saham, asuransi dan koperasi (Al-waie.id, Investasi dalam Islam).

Perbedaan mendasar antara investasi dalam Islam dan kapitalisme adalah batasan kepemilikan. Dalam ekonomi kapitalisme, mereka hanya mengenal kebebasan kepemilikan. Dengan prinsip ini, siapapun yang bermodal, berhak memiliki apapun yang bisa diperjualbelikan. Tak terkecuali aset-aset yang menjadi milik publik seperti barang tambang, sungai, laut, bandara, pelabuhan, tol, jalan raya, dan sebagainya.

Sementara dalam Islam, kepemilikan harta dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan negara. Dalam hal kepemilikan umum, negara dilarang memperjualbelikannya kepada individu atau swasta. Satu-satunya yang berhak memelihara harta milik umum adalah negara. Hasil pengelolaannya wajib dikembalikan kepada rakyat. Karena pemilik kekayaan milik umum sejatinya adalah rakyat.

Mengutip dari laman Al-waie.id, Imam Syafi’i, sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Mawardi, menyatakan: “Asal barang tambang ada dua. Apa yang zhahir seperti garam yang dijumpai manusia di pegunungan, tidak boleh diberikan sedikitpun dan manusia berserikat atasnya. Demikian pula pada sungai, air dan tanaman yang tidak dimiliki oleh seseorang. Abyadh bin Hammal telah meminta kepada Nabi Saw., agar diberi tambang garam Ma’rib. Lalu ia diberi. Namun, ketika dikatakan kepada beliau bahwa tambang itu seperti air yang mengalir, maka beliau menjawab, “jika demikian tidak boleh.”

Imam Syafi’i melanjutkan, “Serupa dengan barang tersebut, yaitu barang yang zhahir seperti minyak, asphalt, sulfur, batubara (bitumen) atau batu yang zhahir yang tidak dimiliki seseorang. Barang-barang itu seperti air dan padang gembalaan; manusia memiliki hak yang sama atasnya.”

Selain itu, barang-barang itu terkait dengan kepentingan umum tidak boleh dihidupkan oleh pihak tertentu (untuk dikuasai), ataupun pemerintah menguasakan barang itu kepada pihak tertentu. Beliau mencontohkan jika aliran air dan jalan-jalan yang merupakan ciptaan Allah SWT yang sangat melimpah dan dibutuhkan, dimiliki oleh pihak tertentu maka ia akan berkuasa untuk melarang penggunaannya.

Beliau mengutip pernyataan Ibn ‘Aqil bahwa hal itu akan menyulitkan manusia. Jika ia mengambil kompensasi maka ia akan membuatnya mahal sehingga ia telah keluar dari ketetapan Allah SWT untuk memberikan keumuman kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Wallahu a’lam.

[ah/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis