Baha’i dan Kebebasan Beragama
Oleh: Umi Maryanti
Lensa Media News – Pro dan kontra terus bergulir di masyarakat semenjak viral video Kemenag Yaqut Cholil Qoumas yang menyampaikan ucapan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB untuk komunitas Baha’i. Menanggapi hal itu Menag Yaqut menegaskan kehadirannya di acara komunitas Baha’i, semata-mata dalam konteks untuk memastikan negara menjamin kehidupan warganya. “Negara harus menjamin kehidupan seluruh warganya. Apapun agamanya, apapun keyakinannya,” ujar dia (Detik.com, 28/07/2021).
Sehingga mengucapkan selamat hari raya kepada mereka dianggap sudah sesuai amanat konstitusi. Meskipun komunitas Baha’i tidak termasuk di dalam enam agama yang diakui di Indonesia. Tentu saja ini merupakan angin segar bagi pemuja kebebasan beragama. Aktivis kebebasan beragama Penrad Siagian, Peneliti dari Paritas Institute mengatakan bahwa Menag Yaqut tidak cukup hanya mengucapkan selamat. Tapi juga harus diteruskan kepada perlindungan, pelayanan publik terhadap berbagai kelompok agama, termasuk Baha’i yang selama ini mengalami diskriminasi (Detik.com, 30/07/2021).
Kebebasan beragama merupakan salah satu standar keberhasilan penerapan demokrasi. Oleh sebab itu, tidak boleh ada intoleransi mayoritas atas minoritas, apalagi diskriminasi. Negara harus menjamin semua agama yang berkembang, meski dikatakan agama tersebut sesat dan menyesatkan. Hal ini menjadi jalan bagi tumbuh suburnya aliran-aliran sesat di Indonesia. Bahkan, negara terlihat seperti memberi peluang bagi siapa pun untuk keluar dari agamanya dan memeluk agama baru. Sebab negara tidak boleh melarang hak individu dalam beragama. Sungguh merupakan kerugian yang besar bagi umat Islam, karena aliran sesat atau agama baru ini telah mengaburkan dan menyesatkan akidah Islam yang lurus.
Perbedaan yang mendasar dapat dilihat pada negara khilafah di masa penerapannya. Negara khilafah wajib menjaga akidah umat Islam dari berbagai penyimpangan, pendangkalan, serta penyesatan sebagaimana syariat Islam berfungsi menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keamanannya. Negara khilafah memberikan toleransi terhadap pemeluk agama lain sehingga dapat hidup berdampingan dengan tenang bersama kaum muslimin di bawah naungan Islam. Sebab, pengakuan Islam terhadap pluralitas (ragam) masyarakat tidak lepas dari ajaran Islam. Allah berfirman, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama [Islam]” (QS. al-Baqarah [2]: 256).
Khilafah juga bertindak tegas terhadap aliran-aliran sesat dengan menghentikan aktivitasnya, membubarkan jamaah atau organisasinya. Adapun orang-orang yang terjebak pada aliran sesat tersebut, negara khilafah akan memberikan pendampingan berupa pembinaan hingga ia kembali pada akidah yang lurus. Bagi mereka yang murtad, mengakui diri sebagai nabi, menistakan Islam dan ajarannya, maka sanksi yang diberikan pun tidaklah ringan. Nabi Saw. bersabda, “Siapa saja yang murtad dari agamanya, bunuhlah!” (HR at-Tirmidzi).
Penjagaan khilafah terhadap Islam menutup kesempatan bagi tumbuh dan berkembangnya aliran-aliran sesat. Perlindungan khilafah terhadap umat agama lain juga telah dibuktikan dalam lembaran sejarah bagaimana khilafah memperlakukan non muslim dengan sangat baik. Dimana pada saat itu umat non muslim hidup tenang dan damai di bawah pemerintahan Islam. Namun, toleransi yang sesuai dengan porsinya ini hanya bisa diterapkan dalam negara khilafah.
Wallahu a’ lam bish-showab.
[ah/LM]