PPKM Darurat Diperpanjang, Bagaimana Nasib Rakyat?
Oleh: Kunthi Mandasari
(Pegiat Literasi)
Lensa Media News – Berdasarkan rapat kabinet terbatas, PPKM Darurat Jawa-Bali diperpanjang hingga akhir bulan Juli. Perpanjangan masa PPKM Darurat itu diungkapkan oleh Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy (news.detik.com, 16/07/2021).
Adanya perpanjangan waktu PPKM Darurat memiliki beberapa resiko. Termasuk bagaimana bisa seimbang antara peningkatan kedisiplinan warga untuk mematuhi protokol kesehatan, standar PPKM, dan bantuan sosial.
Khusus untuk bansos, Muhadjir menyebut pemerintah tidak bisa memikulnya sendiri. Dia meminta semua pihak saling gotong royong. Termasuk pihak universitas juga diminta untuk membantu. Muhadjir ingin agar masyarakat bisa memupuk kesadaran untuk saling jaga dan membantu sesama.
Padahal rakyat tidak membutuhkan perubahan istilah maupun perpanjangan PPKM Darurat. Apabila akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan. Selama ini kebijakan yang diambil terkesan setengah hati. Berusaha menekan angka penularan, tetapi di sisi lain tetap membuka diri bagi WNA.
Sudah menjadi rahasia umum, varian baru yang lebih menular berasal dari luar negeri. Terlambat mengunci bisa dipastikan penularan secara masif terjadi. Ini terlihat dari penemuan di lapangan dan lonjakan kasus harian. Hingga menjadikan Indonesia menyandang gelar episentrum penularan virus Covid-19.
RS yang selama ini tersedia tampak keteteran menangani lonjakan pasien. Belum lagi insentif yang masih bermasalah menyebabkan sejumlah nakes mundur dari medan pertempuran. Kelangkaan alat kesehatan turut mewarnai pemberitaan. Penerapan PPKM Darurat pun menuai polemik. Sebab bagi pekerja harian tak ada jaminan bagi kehidupan.
Rakyat membutuhkan kebijakan yang tegas, yaitu lockdown. Sebagaimana telah dianjurkan oleh sejumlah pakar. Bantahan pemerintah sekuler kapitalisme dalam menetapkan kebijakan tak lepas dari asas yang digunakan, yaitu untung rugi. Serta lemahnya sistem ekonomi kapitalisme dalam menghadapi wabah.
Penerapan lockdown (syari) mampu menjadi solusi penghentian pandemi. Sebab dengan adanya penguncian wilayah terdampak akan menghentikan penyebaran virus. Di sisi lain perekonomian tetap bisa di wilayah yang tidak terdampak. Virus ini mampu dihentikan ketika sejak awal langsung di tangani dengan tepat, yaitu mengikuti syariat Islam. Bukan seperti sistem kapitalisme yang dengan sengaja mengutamakan perekonomian dengan mengabaikan keselamatan rakyat. Hasilnya ialah kebijakan setengah hati.
Selain aturan yang tegas, rakyat juga memerlukan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar. Inilah yang akan membuat masyarakat tunduk dan patuh terhadap aturan pemerintah. Sebab tidak ada lagi yang dirisaukan. Berbeda dengan kondisi saat ini. Tanpa adanya jaminan kebutuhan hidup, tetapi di sisi lain memaksa masyarakat tunduk. Sehingga yang terjadi justru pemberontakan.
Himbauan pemerintah agar masyarakat gotong royong memikul bantuan sosial menjadi tanda tanya besar. Sebab di saat bersamaan pemerintah tengah bernegosiasi dengan China agar mendapat bantuan pinjaman di awal operasi KCJB (Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung) nanti.
Lantas mengapa utang yang diperoleh tidak digunakan untuk kebutuhan masyarakat terlebih dahulu? Mengapa masyarakat masih didorong untuk bergotong royong agar terpupuk kesadaran untuk saling jaga dan membantu sesama?
Ini sekali lagi menegaskan kemanakah prioritas negara saat ini. Masyarakat Indonesia sebenarnya tidak perlu diajari cara menjaga maupun kesadaran membantu sesama. Sejak awal pandemi ketika kelangkaan APD terjadi, masyarakat sudah tergerak untuk membantu para Nakes. Begitupula tidak sedikit bantuan sosial dilakukan oleh kalangan pribadi, LSM maupun organisasi.
Maka tidak ada lagi yang perlu dipertahankan dari sistem rusak ini. Saatnya berganti pada sistem Islam yang terbukti memanusiakan manusia serta memiliki solusi bagi pandemi ini.
Wallahu’alam bishshawab.
[ry/LM]