Keadilan Semu Sistem Demokrasi
Oleh: Mimin Diya
Lensa Media News – Masyarakat kembali dipertontonkan pentas ketidakadilan hukum dalam negeri. Penegakkan hukum saat ini bukan sekadar tajam ke bawah tumpul ke atas, akan tetapi mudah dikompromikan demi menjaga eksistensi pemilik kepentingan. Salah satu realita yang ada ialah bagaimana putusan hukum atas ulama dan koruptor. Dengan level pelanggaran hukum yang jauh berbeda, namun hukuman selevel.
Bukan sekadar sekali-dua kali hukuman bagi koruptor maupun pelaku kriminal sangat ringan hingga tidak mampu menjerakan. Seperti kasus Jaksa Pinangki (terdakwa kasus suap pengurusan fatwa MA dari Djoko Tjandra) yang hukumannya dipangkas dari 10 tahun menjadi 4 tahun saja (Kompas, 27/06/2021).
Bahkan rata-rata vonis untuk koruptor hanya 2 tahunan. Padahal jelas sangat merugikan negara. Berdasarkan data peneliti ICW, tahun 2019 negara rugi sekitar Rp 12 triliun dan naik empat kali lipat pada tahun 2020 mencapai Rp 56,7 triliun (Kontan, 22/3/2021). Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki menilai kondisi ini sebagai bentuk kemunduran komitmen Indonesia dalam memberantas korupsi.
Sementara kepada para aktivis maupun ulama yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, mengingatkan ancaman penjajahan, dan menyuarakan kembali kepada kebenaran kerap mendapat perlakuan tidak adil, dipersekusi, hingga masuk bui. Secuil realitas nampak dari vonis berat HRS yang dianggap menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab yang memicu keonaran (Kompas, 24/06/2021).
Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan pemerintah sebelumnya bahwa identitas pasien harus dirahasiakan. Apalagi tidak merugikan finansial negara sebagaimana koruptor.
Demikian sekelumit potret drama ketidakadilan hukum sistematis dalam negeri buah sistem demokrasi. Sistem ini pula yang melahirkan penegak hukum bermental rendah, memberi hak imunitas (kebal hukum), menjadikan hukum mudah dibeli dan dikendalikan sesuai kepentingan segelintir individu atau kelompok yang berkuasa. Hukum pada akhirnya didasarkan pada asas manfaat materi semata, serta penjaga tiang kekuasaan yang zalim.
Bagaimanapun hukum hasil sistem demokrasi saat ini tidak akan mampu memberi keadilan dan mengakomodir hak-hak rakyat. Karena sesungguhnya keadilan hanya akan terwujud ketika sistem yang haq diterapkan. Bukan sistem buatan manusia, melainkan dari Sang Maha Pencipta dan Pengatur, yakni sistem Islam. Secara jelas tercantum dalam Al-Quran bahwa setiap memutuskan perkara harus dikembalikan kepada Allah Swt.
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allâh, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka...” (QS. Al-Maidah : 49).
Selain itu harus disadari bahwa mereka yang bisa mempermainkan pengadilan dunia saat ini, sungguh tidak akan pernah bisa berdusta di pengadilan akhirat kelak. Apapun yang mereka putuskan pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Ada masa di saat hukum benar-benar ditegakkan secara adil, tanpa tipu muslihat.
“Hakim-hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga: Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia memutuskan hukum dengan kebenaran, maka dia di surga; Seseorang (hakim) yang memutuskan hukum dengan kebodohan, maka dia di neraka; Dan seorang (hakim) yang menyimpang di dalam keputusan, maka dia di neraka” (HR. Ibnu Majah no.2315).
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]