Vaksin Gotong Royong: “Pepesan Kosong” Demokrasi untuk Pemulihan Ekonomi

Oleh: Perawati

 

Lensa Mesdia News – Wacana pemulihan ekonomi terus bergulir meski wabah kian meningkat. Salah satu wacana pemulihan ekonomi dengan vaksinasi. Tujuannya agar terwujud herd imunity. Realisasi Vaksin tahap pertama baru mencapai 7,42 persen dari target.

Meski belum mencapai target, pemerintah optimis pemulihan ekonomi akan terwujud jika vaksinasi dipercepat. Melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 kembali digulirkan vaksin tahap kedua dengan program vaksin gotong royong kepada karyawan swasta yang biayanya ditanggung oleh perusahaan.

Sejauh ini sejumlah perusahaan di kawasan industri seperti Kabupaten Bekasi dan Tangerang memilih tidak mengikuti program vaksin gotong royong. Alasannya, harga vaksin yang ditetapkan pemerintah sangat tinggi. Berdasarkan Kepmenkes Nomor HK.01.07/Menkes/4643/2021, harga vaksin Rp321.660, pelayanan Rp117.910 maka biaya untuk satu kali suntik Rp439.570. Sehingga total biaya untuk satu karyawan dengan vaksinasi lengkap yaitu dua kali suntik sebesar Rp879.140.
Pantaslah program ini sepi peminat. Sejumlah perusahaan mempertanyakan penetapan harga yang tinggi. Saat kondisi sulit seperti sekarang, income yang tidak pasti, vaksin gotong royong justru menambah beban perusahaan. Terutama perusahaan menengah, kecil maupun UMKM. Bahkan program ini dinilai sebagai bentuk lepas tangan pemerintah menyediakan vaksin. Jika sudah seperti ini bagaimana herd imunity akan terwujud dan perekonomian akan pulih.

Sebagai buktinya di kawasan industri Kabupaten Bekasi program vaksin gotong royong baru diikuti 18 perusahaan dari 5.400 perusahaan. Di Tangerang malah baru 4 perusahaan yang mengikuti vaksin gotong royong. Itupun perusahaan besar.

Jadi wacana pemulihan ekonomi melalui vaksinasi mempertontonkan kepada kita betapa karut-marutnya regulasi dalam sistem demokrasi. Regulasi yang tumpang tindih tanpa perencanaan matang alih-alih menyelesaikan masalah justru menambah masalah baru. Peran negara hanya sebagai regulator, bahkan menjadi broker berbagai produk vaksin dunia.

Jika Permenkes ini terus dipaksakan dikhawatirkan program ini memicu:
1. Ketimpangan akses antara perusahaan kapitalisasi besar yang mampu memborong vaksin dengan perusahaan kecil maupun UMKM, dengan keterbatasan anggaran.
2. Harga vaksin yang terlalu mahal juga membuka celah bagi perusahaan ‘nakal’ untuk membebankan sebagian biayanya kepada pekerja. Mulai dari pemotongan upah hingga pengurangan hak lain yang digunakan untuk membayar vaksin. Ini juga yang tengah dikhawatirkan para karyawan.
3. Sangat memungkinkan terjadi distribusi internal perusahaan tidak merata antara level manajerial hingga karyawan kontrak.

Saatnya pemerintah meninjau ulang biaya vaksin gotong royong. Jika perlu ada insentif dari pemerintah atau digratiskan. Mungkinkah?

Dengan demikian pemulihan ekonomi hanyalah sebuah wacana basi yang selalu diulang. Pada dasarnya vaksin gotong royong adalah bentuk lepas tangan pemerintah dalam melindungi masyarakat dari penularan wabah. Wacana gotong royong hanyalah pepesan kosong vaksinasi dalam sistem demokrasi. Yang akhirnya dibebankan pada karyawan juga. Sebagaimana halnya BPJS kesehatan yang ujung-ujungnya perusahaan memotong gaji karyawan.

Begitulah regulasi dalam sistem demokrasi. Regulasi demi kepentingan sekelompok elit bukan untuk kemaslahatan masyarakat. Jadi apa lagi yang bisa diharapkan dari sistem ini. Jika uang bansos saja mereka sikat berjamaah. Apalagi berharap vaksin gotong royong dapat insentif atau gratis.

Saatnya kembali pada regulasi sahih yang menentramkan jiwa yaitu aturan dari Al Khalik. Sebagai hamba Allah yang terikat dengan syariat Allah yaitu Islam, tidak ada kata untuk menyelisihinya. Islam telah mengatur kehidupan manusia mulai dari hal terkecil hingga pengurusan sebuah negara. Termasuk cara menyelesaikan wabah penyakit.

Jika vaksin memang dibutuhkan maka negara akan memberikan secara gratis tanpa dipungut biaya. Bisa dipastikan pendistribusiannya merata dan adil untuk semua kalangan masyarakat. Ini sebagai bentuk pengurusan negara kepada rakyatnya. Bebannya berada dipundak seorang pemimpin.

Regulasi dibuat sematang mungkin semata-mata demi kemaslahatan masyarakat. Regulasi vaksinasi tidak semata untuk memulihkan ekonomi. Melainkan memutus rantai penularan wabah yang dimulai dengan lockdown wilayah dan lockdown perbatasan. Dengan demikian wabah penyakit tidak menyebar, perekonomian akan berjalan normal. Dan roda perekonomian tidak semata pada sektor industri, melainkan semua sektor: industri, pertanian, perdagangan, kelautan, perkebunan, pertambangan dll. Disinilah peran negara menggerakkan semua sektor ini secara dinamis agar terwujud pemulihan ekonomi bahkan surplus. Sehingga terwujud ketahanan pangan dan kemandirian negara di semua aspek kehidupan. Termasuk mandiri menciptakan vaksin untuk kemaslahatan umat.

Wallahu a’lam.

 

[ra/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis