Titik Nadir Bisnis Retail

Oleh: Kunthi Mandasari

(Pegiat Literasi) 

 

Lensa Media News – Menanti sesuatu yang tak pasti memang melelahkan. Begitulah yang dirasakan para pengusaha retail. Setahun lebih bertahan guna melawan amukan badai Covid-19. Akhirnya, satu persatu gerai bisnis retail mulai berjatuhan. Menutup maupun mengalihkan gerai menjadi pilihan bijak agar terus mampu mengoperasikan bisnis yang masih bisa dipertahankan.

Pada akhir Juli 2021 PT Hero Supermarket Tbk. (HERO Group) memutuskan untuk menutup seluruh gerai Giant. Langkah ini merupakan bagian strategi perusahaan untuk memfokuskan bisnisnya ke merek dagang IKEA, Guardian, dan Hero Supermarket yang memiliki potensi pertumbuhan lebih tinggi (liputan6.com, 25/05/2021).

Langkah Hero Group ini mengikuti peritel besar lainnya yang sudah terlebih dahulu menutup sebagian atau semua gerainya akibat terimbas pandemi. Misalnya, PT Matahari Department Store yang menutup 25 gerai pada 2020 dan berencana kembali menutup 13 gerai tahun ini. Ada pula gerai ritel fashion Centro Department Store dan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, Kamis (27/5/2021), mengatakan, bisnis ritel telah memasuki titik nadir setelah satu tahun lebih terdampak pandemi. Aprindo mencatat, selama pandemi, terdapat lebih dari 400 minimarket yang gulung tikar. Sementara untuk supermarket, selama Maret-Desember 2020, rata-rata ada 5-6 gerai yang terpaksa tutup setiap hari. Per Januari-Maret 2021 ini, rata-rata ada 1-2 toko yang tutup dalam sehari (kompas.id, 28/05/2021).

Penutupan seluruh gerai Giant pasti akan memberi dampak pada karyawan maupun terhadap pendapatan negara. Paling tidak ada sekitar 3.000 karyawan yang diestimasi berpotensi terkena PHK (kompas.id, 28/05/2021). Sedangkan bagi negara selain pengurangan gerai, retribusi pendapatan daerah juga akan hilang. Sebab sudah tidak ada reklame, pajak air dan tanah, dan lain sebagainya. Kemudian meningkatnya potensi kehilangan daya beli di wilayah tersebut dari pekerja yang di PHK juga menjadi ancaman (liputan6.com, 25/05/2021).

Gulung tikar yang dialami korporasi besar maupun PHK masal yang terjadi telah diprediksi sejak awal oleh sejumlah pakar. Sayangnya masih kurang persiapan untuk menanggulangi. Justru di awal kemunculan pandemi diremehkan bahkan dijadikan bahan olokan. Setelah Covid-19 terkonfirmasi masuk ke Indonesia pun sejumlah kebijakan yang diterapkan masih longgar.

Meski begitu, pangkal permasalahan bergugurannya gerai retail bukan hanya pada kebijakan yang tidak tepat. Namun juga, dipengaruhi oleh sistem bathil yang tengah diterapkan. Sistem ekonomi kapitalis berpusat pada sektor nonriil. Apabila dihantam kemelut akan mudah berguguran. Terlebih ketika tidak bisa memberikan kepastian pada pasar modal yang berdampak pada sektor riil. Seperti kondisi pandemi saat ini. Orang-orang akan cenderung enggan berinvestasi. Sehingga perusahaan tidak mendapatkan modal dari pasar saham.

Selain itu, uang yang diperdagangkan di bursa saham juga akan berimbas ke semua orang karena digunakan dalam penukaran. Uang kertas yang kini tengah digunakan nilainya senantiasa fluktuatif sehingga rawan terkena krisis. Sistem ekonomi kapitalis juga menghalalkan adanya kerja sama melalui penanaman modal dalam bentuk saham. Akibatnya banyak perusahaan besar berdiri dan menggurita. Operasional pun dilakukan di tempat yang berbeda, baik kantor, tempat produksi maupun tempat pembelian bahan baku. Apabila ada kendala seperti pandemi bisa mempengaruhi kinerja perusahaan.

Berbeda dengan Islam yang menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar yang memiliki nilainya stabil. Serta tidak menjadikan komoditas yang diperdagangkan layaknya sistem kapitalis. Karena termasuk riba yang jelas diharamkan oleh Islam. Prinsip perekonomian Islam didasarkan pada keadilan. Sehingga menghindari maysir (spekulasi), gharar (ketidakjelasan) dan riba yang dilarang oleh syariat. Dengan berpijak pada prinsip-prinsip syariah, maka perekonomian akan lebih aman dan bergerak seirama dengan sektor riil dan sektor moneter. Sehingga tidak mudah goyah ketika tertimpa wabah yang melumpuhkan perekonomian.

Tentunya dengan diikuti langkah prioritas yang cepat dan tuntas terhadap wabah. Ini akan mampu membangkitkan perekonomian secara cepat. Langkah tersebut ialah lockdown (karantina wilayah yang terdampak). Diikuti langkah kebijakan isolasi yang diterapkan secara tegas. Ditunjang penerapan perekonomian Islam yang didominasi oleh sektor primer dan mikro. Seperti pertanian, perikanan, peternakan dan lain-lain. Karena ekonomi primer akan tetap dibutuhkan dalam segala kondisi. Lebih tahan banting jika dibandingkan dengan sektor sekunder dan non riil yang diagungkan oleh sistem kapitalis.

Oleh karenanya, tidak ada alasan menolak ajaran Islam. Apalagi hanya mengambil ajarannya yang dianggap menguntungkan, kemudian menolak sebagian yang dianggap merugikan. Islam tidak bisa diambil hanya berdasarkan kebutuhan, tetapi harus diterapkan secara total. Garansinya resmi dari Sang Pencipta. Seharusnya tidak ada lagi keraguan untuk menerapkannya.

Wallahu’alam bish shawab.

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis