Sembako Dikenakan Pajak, Kehidupan Rakyat Makin Terinjak

Belum usai berbagai masalah membelit rakyat, kembali pemerintah membuat ulah. Pemerintah berencana mengenakan PPN terhadap barang kebutuhan pokok. Wacana tersebut tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Bahan pokok yang akan dikenakan pajak antara lain, beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi (Kompas.com, 9/6).

Sontak wacana tersebut menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Di tengah pandemi dan kesulitan ekonomi, pemerintah tega menambah beban hidup rakyat. Harga sembako yang sering tidak stabil saja, sudah membuat rakyat ketar-ketir. Tidak terbayang bagaimana jika wacana tersebut terealisasi.

Tidak salah jika wacana ini dianggap tidak manusiawi. Tanpa memikirkan nasib rakyat kecil, pemerintah seenaknya membuat kebijakan. Pajak terus digenjot demi meningkatkan pendapatan negara. Dalam sistem kapitalisme, sumber utama pendapatan negara memang berasal dari utang dan pajak. Fakta ini semakin menunjukkan kebobrokan sistem kapitalisme.

Sistem yang terlahir dari buah pemikiran manusia terbukti penuh cacat dan cela. Karena, sistem ini hanya berpihak pada kepentingan segelintir elite politik, dan mengabaikan periayahan terhadap umat.

Berharap pada sistem kapitalisme ibarat bergantung pada akar lapuk. Sudah saatnya sistem Islam kembali di tengah-tengah umat. Karena, hanya sistem Islam yang terbukti selama 14 abad menyejahterakan seluruh umat tanpa terkecuali. Tidak ada kebijakan-kebijakan khusus yang menguntungkan penguasa. Sehingga tidak akan muncul kezaliman terhadap rakyat. Bahkan, Islam dengan jelas mengharamkan pajak. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw., “ Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka.” (HR. Ahmad dan at-Thobrany dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi’ bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, dan hadis ini, oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadis sahih).

Chaya Yuliatri,
(Aktivis dakwah dan pegiat literasi)

[hw/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis