Sandiwara Keadilan di Negara Hukum
Oleh : Isnawati
Lensa Media News – Perdebatan mengenai keadilan dan kepastian dalam penegakan hukum tampaknya terus berlangsung dan menuai polemik serta kritik di tiap masalah. Peristiwa itu juga bisa kita lihat dalam kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan yang dilakukan oleh Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis. Dua orang tersebut adalah Polisi aktif yang sudah mengabdi sepuluh tahun, hukuman yang dijatuhkan pun sangat mengagetkan khalayak umum yaitu hanya satu tahun penjara.
Sejumlah pihak menilai tuntutan itu sangat rendah, reprentasi negara dalam mewakili kepentingan korban terasa abai. Pertimbangan Jaksa hanya berdasarkan pelaku tak sengaja menyiramkan air keras hingga mengenai mata sebelah kiri Novel Baswedan. Delik yang dikenakan pada pelaku adalah pasal 353 ayat 2 KUHP JU pasal 55 ayat 1 ke -1KUHP.
Tuntutan hukuman satu tahun penjara kepada terdakwa jelas tidak sebanding dengan penderitaan korban yang mengalami cacat permanen pada mata kirinya akibat disiram air keras. Penantian selama tiga tahun untuk mencari keadilan berujung kecewa. Sebenarnya kesalahan seseorang bisa dilihat dari tiga kemungkinan, apakah memang sengaja, ceroboh, ataukah lalai.
Dilihat dari proses penyiraman air keras kepada korban adalah proses yang disengaja dan terencana. Peristiwa tersebut terjadi pada pagi-pagi buta, pelaku dengan membawa air keras buat mencelakakan orang, pastinya dengan antusias dan berbagai strategi. Artinya perbuatan terdakwa terencana secara matang dan jelas termasuk melawan hukum yang harus diberikan sanksi berat.
Indonesia adalah negara hukum, persamaan hak di depan hukum merupakan prinsip fundamental, tidak seorangpun yang boleh berada diatas hukum. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) yang menyatakan kasus ini minus keadilan bagi korban, surplus kepentingan pelaku dan mengancam pemberantasan korupsi kedepannya adalah bukti rendahnya hukum di negeri ini.
Sandiwara hukum dalam demokrasi merupakan cara untuk mencapai kemenangan yang semu, pernyataan tersebut dipertegas oleh Tim Advokasi Novel dengan menyatakan bahwa persidangan kasus Novel merupakan “Sandiwara Hukum.” Harianterbit.com (15 Juni 2020)
Hukum dalam demokrasi akan selalu bersandiwara sebab diserahkan kepada manusia, yang lemah dan berubah-ubah menurut hawa nafsu demi kepentingan diri dan kelompoknya. Penjara satu tahun untuk kejahatan kriminal berat, sangatlah tidak adil bagi korban dan keluarganya. Sandiwara keadilan dalam negara hukum melukai banyak hati masyarakat, kasus sekelas Novel Baswedan saja pincang, apalagi keadilan bagi masyarakat miskin, tidak menutup kemungkinan bisa lebih zalim.
Kezaliman dalam hukum hanya bisa dihilangkan dengan kembali kepada syariat Islam yang kaffah. Kesempurnaan Islam tidak akan pernah melukai akal bahkan sangat menjaga akal agar memanusiakan manusia saat menerapkan peraturan ketika bermuamalah. Kasus Novel Baswedan akan dikenakan hukum jinayat karena telah menghilangkan anggota tubuh yaitu mata sebelah kirinya. Jinayat merupakan sanksi untuk penganiayaan atas tubuh yang mewajibkan qishas atau denda berupa harta.
Syariat Islam memberikan peraturan yang menyangkut sanksi-sanksi sebagai pencegah dan penebus dosa, pelaksananya adalah negara. Sanksi yang dijatuhkan bertujuan menjerakan bagi pelaku dan pembelajaran bagi yang lain, pelaksanaan sanksi akan disaksikan seluruh masyarakat.
Sanksi bertujuan membimbing umat untuk selalu taat pada perintah dan larangan Sang Pencipta serta pengatur kehidupan.
Umatpun dengan sendirinya merasa aman jiwa, harta dan kehormatannya, tidak ada curiga dan tidak percaya pada pengatur kebijakan negara, tidak ada lagi anggapan hukum yang ada hanyalah sandiwara. Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin, sudah saatnya segera kembali kepada peraturan Islam dalam naungan Khilafah Ala Minhajjin nubuwah.
“Sesungguhnya Allah bersama hakim selama dia tidak menyimpang, jika dia menyimpang Allah meninggalkannya dan Syetanpun menemaninya.” (HR. Tirmidzi)
Wallahu a’lam bis swab.
[LM]