Corona dan Bumi yang Menua

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Admin Kajian Online BROWNIS)

 

Lensa Media News – Bumi menua. Perubahan iklim yang ekstrim, tumpukan sampah, gundulnya hutan, hilangnya ekosistem beberapa hewan dan tumbuhan hingga bocornya lapisan ozon bumi adalah salah satu tandanya.

Tanggal 22 April 1970, Hari Bumi pertama kali diadakan. Saat itu sekitar 20 juta orang Amerika atau sekitar 10 persen dari populasi AS turun ke jalan, pihak kampus dan ratusan kota ikut memprotes pengabaian lingkungan dan menuntut langkah maju baru bagi planet bumi.

Perayaan Hari Bumi saat itu menjadi tonggak berlakunya undang-undang lingkungan hidup di Amerika Serikat, termasuk udara bersih, air bersih dan penyelamatan keanekaragaman hayati terancam punah. Banyak kemudian negara segera mengadopsi undang-undang serupa.

PBB juga memilih Hari Bumi, 22 April 2016, sebagai hari penandatanganan Kesepakatan Paris atau Paris Agreement guna mengatasi pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Sekitar 50 anak muda dari 16 negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara, yakni Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, Kamboja, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Maldives, Myanmar, Nepal, Pakistan, Filipina, Thailand, Timor-Leste and Vietnam, akan menunjukkan apa yang telah mereka lakukan untuk lingkungan ( suaramerdeka.com, 22/4/2020).

Denis Hayes, penyelenggara Hari Bumi pertama dan Ketua Dewan Jaringan Hari Bumi Emeritus mengatakan “Terlepas dari keberhasilan luar biasa dan puluhan tahun kemajuan lingkungan, kita mendapati diri kita menghadapi tantangan lingkungan global yang bahkan lebih mengerikan, hampir eksistensial, dari hilangnya keanekaragaman hayati hingga perubahan iklim hingga polusi plastik, yang membutuhkan aksi di semua tingkat pemerintahan.”

Apa makna dari pernyataan Denis Hayes? Tak lain dan tak bukan, peringatan Hari Bumi ini mengalami kegagalan. Sebab, keberhasilan yang dia maksud setelah berpuluh-puluh tahun ternyata masih harus menemui keadaan yang lebih mengerikan lagi. Ya, pergerakan yang sia-sia dan lambat, sekuat apapun mereka menyerukan kepada dunia untuk mengadakan perbaikan.

Kampanye inipun akhirnya menunjukkan betapa lemahnya kapitalisme mengadakan perbaikan. Sebab ia memiliki dua sisi yang saling bertentangan. Sistem ekonomi kapitalis sama sekali tak toleransi terhadap keseimbangan alam. Mereka hanya butuh neraca keuangannya seimbang. Bila modal sudah dikeluarkan, pantang kembali tanpa keuntungan.

Pun, himbauan ini hanya dilakukan hanya oleh individu atau pergerakan nirlaba. Seberapa besar kekuatan mereka untuk melawan gurita para kapitalis kelas kakap? Dan parahnya negara berada di bawah kekuasaan mereka baik secara de jure maupun secara de facto. Padahal negaralah yang memiliki kekuatan terbesar, guna mencegah kerusakan bumi lebih parah.

Maka, kembali ini hanya jargon kosong kapitalis, guna menutupi ketidakmampuan mereka mengadakan perubahan ke arah yang benar. sekaligus guna meredam kemarahan masyarakat karena tanah-tanah mereka rusak, penghasilan mereka hilang dan sebagainya. Bumi tak sekedar merasakan kerusakan yang parah secara alamiah. Namun juga tersistem.

Jika saja dunia mau detili akar persoalannya adalah pada sistem kapitalisme. Ketamakan para investor yang bekerja sama dengan penguasa lah yang kemudian merusak dengan menguasai semua sumber daya alam. Dimana sumber daya alam tersebut (SDA) memiliki hak kepemilikan berbeda.

Karena ketidakjelasan hak kepemilikan inilah yang merancukan bahkan menghilangkan hak-hak rakyat. Eksplorasi besar-besaran sekaligus mengabaikan keseimbangan alam terjadi selama bertahun-tahun. Memunculkan golongan elit yang dengan kekuasaan atau materi hidup secara konsumtif dan egoisme pribadi (gaya hidup). Merekalah penyumbang terbesar sampah dan dampak negatif lainnya .

Dan boleh dikata, wabah Corona ini membawa hikmah, meskipun sistem ekonomi anjlok namun bumi menjadi sedikit bernapas lega. Diberitakan media massa nasional bahwa kualitas udara di Jakarta cenderung membaik seiring dengan pemberlakuan pembatasan sosial. Indeks kualitas udara menunjukkan angka 155 pada 28 Maret dan di awal April turun menjadi 69.

Di skala global, pandemi Covid- 19 menurunkan tingkat polusi udara di kota New York, Amerika Serikat hingga 50% dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Sementara itu emisi gas rumah kaca di Tiongkok turun 25% pada awal tahun saat pandemi Covid-19 pertama kali menyerang negeri tirai bambu ini. Sebagaimana dikutip harian Suara Merdeka 6 April 2020, Prof Marshall Burke menghitung pengurangan dampak polusi terhadap kesehatan penduduk yang berpotensi meningkatkan harapan hidup.

Inilah hikmah ketika Virus Corona mewabah. Dunia seakan membaca sebuah surat cinta global, bahwa dunia ini ada yang mengatur dan menguasai. Lebih perkasa daripada para kapitalis itu, yaitu Allah Swt. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Rum ayat 41 yang artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Melalui Corona yang tak kasat mata, telah membuka mata bagaimana sedikit perubahan terjadi ketika kita menghentikan ketamakan eksploitasi bumi. Inilah yang di mau Allah Sang Raja Diraja, yaitu kembali kepada pengaturan Allah semata. Bukan manusia sehebat apapun manusia itu tak layak menentukan baik dan buruk pengaturan manusia, alam semesta dan hidup.

Wallahu a’lam bish showab.

 

[Faz/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis