Oleh : Isnawati

 

LensaMediaNews – Hati nurani adalah hakim yang terbaik dan jujur. Hilangnya nurani tidak hanya terjadi pada penguasa, tapi juga sampai ke rakyat bawah. Sebagaimana telah terjadi penolakan pemakaman jenazah Covid-19 terjadi di Kabupaten Semarang, pada Kamis 9 April 2020 di daerah Sewakul, Ungaran. Kejadian itu mengiris hati banyak kalangan yang seakan menjadi bukti matinya hati nurani rakyat.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengaku terkejut mendengar kabar peristiwa penolakan pemakaman jenazah Covid-19. Padahal jenazah yang ditolak pemakamannya adalah seorang perawat yang bertugas di RSUP Kariadi Semarang, yang berjuang di garda terdepan melawan wabah virus.

Kasus penolakan warga terhadap pemakaman jenazah Covid-19 tidak hanya terjadi di Semarang, tapi juga bermunculan di daerah-daerah lain. Seperti di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Makassar di Antang kelurahan Manggala, di Lampung dan di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Penolakan berupa petugas penggalian kubur hingga lebih dari empat jam dari jam setelah dinyatakan meninggal (Kompas.com, 1/4/2020).

Fenomena penolakan warga atas pemakaman jenazah Covid-19 adalah bukti lemahnya edukasi kepada rakyat dengan benar. Ditambah lagi, gencarnya berita negatif di media tentang bahaya penularan Covid-19. Ketakutan akut, yang terbayang hanya kengeriannya saja.

Alhasil kebingungan, kepanikan serta perasaan tak berdaya melemahkan imun. Kekuatiran meninggalnya rakyat tidak semata-mata karena virus itu, tapi karena stres. Rakyat selama ini seakan menganalisis sendiri ditengah keawaman tentang bahaya Covid-19. Dan merasa tidak ada tempat berlindung. Kecuali sebatas himbauan dan bantuan yang bersyarat.

Melindungi diri, keluarga, orang terdekat termasuk tetangga yang bisa mereka lakukan. Termasuk menolak pemakaman jenazah terpapar Covid-19 dengan mengesampingkan nurani sebagai manusia adalah bentuk perlindungannya.

Edukasi yang benar tentang cara pemakaman yang aman dan benar sangat minim, berakibat hilangnya hati nurani rakyat. Padahal wabah adalah Sunnatullah yang pasti terjadi, Rasulullah juga mengalaminya. Yang berbeda adalah landasan dalam memberikan pelayanan kepada rakyat.

Hari ini Sekulerisme kapitalisme yang diterapkan telah menjauhkan bahkan meniadakan pemimpin yang cinta rakyatnya dengan sungguh-sungguh. Justru rakyat dijadikan tumbal para oportunis , melalui kebijakan-kebijakan guna melanggengkan korporatokrasi. Lahirlah pemikiran-pemikiran siapa kuat dialah yang akan bertahan hidup. Pemikiran ini sampai ketataran rakyat biasa sebagai teladan.

Berbeda dengan kehidupan yang berlandaskan Islam, menguburkan jenazah adalah suatu kewajiban dan bentuk kasih sayang. Fakta adanya jenazah terpapar virus bukan berarti gugur suatu kewajiban untuk memakamkan, tentu dengan tindakan-tindakan pencegahan agar aman dan tidak menular

Siapa yang menyaksikan jenazah (dari rumahnya) dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala sampai disholatkan maka ia mendapatkan pahala satu qirath, dan siapa yang mengiringi jenazah (dari rumahnya) sampai mayat dikuburkan maka baginya dua qirath, kemudian ditanya “Seperti apa dua qirath itu? yaitu sebesar dua gunung yang besar” (HR. Bukhari dan Muslim).

Semua amal perbuatan berlandaskan pahala dan dosa, umat Nabi Muhammad SAW adalah umat terbaik yang tidak mungkin egois, tidak mungkin mementingkan diri sendiri, apa lagi sampai membiarkan saudaranya tidak dimakamkan. Hari ini terjadi sengkarut karena memang tidak diatur oleh Islam.

Dalam Islam negara bertanggung jawab penuh atas kehidupan dan keselamatan rakyatnya. Sinergi antara negara sebagai pelaksana hukum syariat menjadi pilar utama penanggulangan wabah. Kebijakan pusat dengan daerah seiring dan sejalan, kesadaran bahwa sekecil apapun pelanggaran hukum syariat akan berkonsekuensi berupa teguran di dunia dan azab di akhirat.

Sudah saatnya negeri ini mengikuti fitrah diri yaitu menjadikan syariat Islam sebagai sandaran semua solusi kehidupan bernegara. Wabah Covid-19 adalah pembelajaran yang penting bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, kembali kepada Syariah dan Khilafah adalah solusi pasti.

Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? ” (QS. Al-Maidah: 50).

Wallahu a’lam bish showab .

 

[ry/LM]

Please follow and like us:

Tentang Penulis