Tipu Daya Kesetaraan Gender
Oleh: Endah Sefria, SE
LensaMediaNews— Jargon kesetaraan gender terus digemakan oleh para aktivis sosial yang memandang wanita harus sejajar dengan kaum lelaki. Mereka beranggapan bahwa kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup.
Dimana hak itu tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki. Pada hakikatnya, perempuan pun mempunyai hak yang sama. Mereka tidak menginginkan peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.
Seolah bekerja dengan label “berkarir” bagi wanita menjadi tuntutan wajib yang harus dipenuhi. Jika tidak, maka dianggap sebagai wanita yang hidup tidak mandiri. Yang hanya mengharap jatah belanja dari suami. Dan rugi jika ijazahnya hanya menganggur di lemari.
Jelas pemikiran ini adalah pemikiran sesat. Jika ditanya secara jujur kepada kaum wanita tentu fitrahnya ingin berada di rumahnya. Mengurus suami dan anak-anaknya. Memasak makanan enak dan sehat untuk keluarganya. Melihat tumbuh kembang anak-anaknya. Jika saja seluruh kebutuhan terpenuhi pastilah mereka memilih untuk bersantai di rumah menikmati kebersamaan dengan keluarganya daripada memilih berpeluh keringat di luar rumah.
Hanya saja terkadang mereka berbohong pada hati nuraninya sendiri. Mereka ikut arus peradaban barat. Mereka malu berdiam diri di rumah. Dan bangga punya penghasilan sendiri. Akibatnya muncul berbagai masalah baru. Tidak sedikit kasus dalam rumah tangga dengan suami yang malas bekerja karena melihat kemandirian istrinya.
Ada juga yang akhirnya berujung pada perceraian karena keegoisan masing-masing pasangan. Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian orang tua. Bahkan sampai muncul kasus penculikan, pedofil dan pembunuhan yang mengancam anak-anak, karena kurangnya peri’ayahan atau perlindungan dari orang tua mereka.
Terkadang kita lupa bahwa rezeki kita telah ditetapkan Allah. Kita sibuk bekerja di luar dan melupakan kewajiban kita di rumah sebagai seorang istri dan ibu. Kita masih merasa serba kurang jika kita hanya mengharap dari suami. Padahal mungkin kebutuhan itu telah tercukupi. Jika pun kita harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, maka kita tidak boleh melalaikan tugas pokok kita sebagai istri dan ibu dari anak-anak kita.
Dalam sistem kapitalisme yang “runyam” ini, memang sulit untuk bisa bertahan hidup dengan seluruh kebutuhan yang harganya membumbung ke langit. Para kapital berkesempatan mengambil jasa wanita dengan upah yang relatif lebih murah dan sedikit tuntutan terhadap perusahaan. Dampak dari semakin sempitnya lapangan pekerjaan untuk kaum pria. Ini juga salah satu biang keretakan keluarga, ekonomi.
Akhirnya dengan sukarela maupun terpaksa, wanita keluar menggantikan posisi pria mencari nafkah sebagai tulang punggung keluarga. Dari sanalah seketika hilang hak dan kewajiban istri dan suami. Berbagai masalah pun timbul dan tak kunjung selesai. Dari sini mulai hancurlah pertahanan pertama yakni keluarga.
Sejatinya wanita sangat dimuliakan dengan Islam. Ia senantiasa dijaga. Suami berkewajiban mencari nafkah. Wanita tidak. Jika pun wanita bekerja, itu dihitung sedekah untuk keluarganya. Pun tenaga wanita tidak bisa sekuat laki-laki. Jadi kalau saat ini wanita dipaksa keluar rumah, justru patut kita iba.
Dia tidak akan bisa lagi fokus mengurusi keluarga karena telah bekerja seharian di luar rumah. Dalam Islam, ibu adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya. Dari rahimnyalah terlahir manusia manusia hebat. Di balik negara yang besar ada peran ibu yang besar. Maka, kembalikan peran wanita. Jargon keseteraan gender hanyalah kamuflase belaka agar kepentingan para kapitalis tetap terjaga. Wallahu a’ lam bish showab. [ry/LM]