Oleh Erwina
(Komunitas Penulis Jombang)

 

LenSaMediaNews – Upah Minimum Kabupaten Kota (UMK) Jawa Timur 2020 resmi disahkan. UMK ini mengalami kenaikan 8,51% dari UMK sebelumnya. Penetapannya sesuai dengan UU Nomor 13 tentang ketenagakerjaan dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Besarannya setiap kabupaten dan kota berbeda. Mulai dari Rp 1,9 Juta hingga Rp 4,2 Juta (jatim.suara.com,20/11/2019).

Sebelumnya, Menaker, Ida Fauziah mewacanakan skema pengupahan hanya mengacu pada UMP (Upah Minimum Propinsi) (m.republika.co.id,16/11/2019). Hal ini terjadi karena adanya keberatan dari kalangan pengusaha yang terbebani nilai UMK yang seringkali lebih tinggi dari UMP (kompas.com,14/11/2019).

Sontak wacana ini mendapat reaksi dari berbagai pihak. Presiden KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Said Iqbal menolak wacana tersebut karena tidak tepat. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan Undang-Undang ketenagakerjaan dan memiskinkan buruh secara sistematis. Bagaimana tidak, di satu sisi upah buruh ditekan, di sisi yang lain biaya hidup naik.

Wajar bila masalah upah membuat resah. Pekerja yang mendapat upah menggunakannya sebagai nafkah keluarga. Sayangnya upah yang diterima tak sebanding dengan beban hidup yang harus ditanggung saat ini. Untuk bisa hidup layak sandang, pangan, papan saja sudah ngos-ngosan, belum lagi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. Semuanya jauh dari murah. Alih-alih hidup sejahtera, mampu bertahan hidup saja sudah bagus.

Di sisi lain, pengusaha juga harus memeras otak. Persaingan bisnis, gempuran impor, tingginya pajak telah membuat pikiran pusing. Ditambah dengan pekerja yang menuntut gaji layak menjadi kewajiban yang harus ditanggungnya. Alhasil konflik pengusaha dengan pekerja seolah tiada akhir. Keharmonisan jarang tercipta.

Sejatinya keruwetan masalah upah disebabkan kesalahan mekanisme pengupahan yang dianut. Dimasukkannya penghitungan biaya hidup pekerja sebagai salah satu variabel penentuan upah memberatkan pihak pengusaha. Belum lagi bila ditambah harus adanya jaminan kesehatan, pendidikan serta perumahan. Di sisi lain, pekerja mengharapkan upah yang membuat hidupnya layak.

Tak dipungkiri setiap manusia mempunyai kebutuhan primer yang sama yaitu sandang, pangan, dan papan. Juga kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Perintah bekerja menjadi jalan untuk memenuhi kebutuhan primer tersebut. Menjadi pekerja merupakan salah satu jenis pekerjaan yang bisa dilakukan. Saat itulah akan terjadi akad/kontrak kerja antara pekerja dan majikan/pengusaha. Namun besaran upah dinilai berdasarkan manfaat atau nilai barang atau jasa yang dihasilkan/diberikan pekerja pada majikan/pengusaha tanpa memasukkan komponen biaya hidup. Demikianlah sistem Islam mengaturnya.

Adapun bila upah yang diterima tidak mampu mencukupi biaya hidup atas keluarga yang dinafkahinya maka Islam memerintahkan ahli waris atau kerabatnya untuk menanggung biaya hidupnya. Apabila ahli waris atau kerabatnya juga tidak mampu maka negara lewat baitul maal yang akan menanggungnya.

Dengan demikian pengusaha tidak terbebani biaya hidup pekerja karena memang bukan kewajibannya. Sebaliknya pekerja akan dijamin biaya hidupnya oleh negara setelah menempuh langkah-langkah yang ditetapkan oleh syariat.

Bekerja menjadi optimal, keharmonisan hubungan pengusaha dengan pekerja terus berjalan. Karena itu, masalah upah tidak akan membuat resah bila negara menjalankan fungsinya mengurusi urusan rakyat dengan berlandaskan pada syariat Islam.

Wallahua’lam bisshowab.

 

[LenSa/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis