Merindukan Pelayanan Publik yang Menyejahterakan Rakyat
Oleh: Staviera A., dr.*
LensaMediaNews— Kencangkan sabuk anda! Seruan ini agaknya mewakili respon masyarakat Indonesia akan wacana kenaikan harga yang ‘ketok palu’ di akhir 2019 hingga awal tahun 2020. Pasalnya, kenaikan tarif ini menyasar berbagai pelayanan publik yang lekat dengan kehidupan masyarakat, mencakup iuran jaminan kesehatan, tarif listrik, dan tarif jalur transportasi yaitu jalan tol.
Iuran kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibayar masyarakat mengalami kenaikan hingga hampir 100%. Peserta ruang perawatan kelas III mengalami kenaikan tarif hingga menjadi Rp42.000,00, kelas II menjadi Rp110.000,00, dan kelas I menjadi Rp160.000,00 per anggota keluarga per bulannya (detikfinance, 5/10).
Kenaikan tarif tol pun tidak ketinggalan. Kenaikan tarif pada 13 ruas tol pada akhir tahun 2019 ini telah ditandatangani oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dengan besaran yang disesuaikan dengan angka inflasi di tiap daerah (Kompas, 27/9). Disusul pula dengan pencabutan subsidi listrik untuk pengguna 900 VA, diberlakukan kenaikan tarif sebesar 14,9% (detikfinance, 5/10).
Kenaikan biaya kesehatan dan tarif listrik yang merupakan kebutuhan sehari-hari pasti akan berdampak pada masyarakat. Kenaikan dan biaya yang berkaitan dengan transportasi dapat berpengaruh terhadap harga-harga barang. Kondisi ini dapat melemahkan daya beli masyarakat, yang sebenarnya sudah mulai tercermin dari terjadinya deflasi pada September 2019 kemarin.
Padahal, lapangan pekerjaan pun masih sulit untuk dicari. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya perpindahan tenaga kerja ke sektor informal. Di sektor pendidikan, tenaga pendidik honorer dengan gaji Rp200.000,00 hingga Rp300.000,00 per bulan masih berjumlah cukup banyak dalam kisaran 700.000 orang (CNN Indonesia, 26/11).
Belum lagi komposisi tenaga kerja Indonesia sebesar 75,37 juta jiwa (58,26%) masih berupa lulusan SMP dan di bawahnya, tentu lebih sulit lagi untuk memperoleh pendapatan yang memadai (CNBC Indonesia,14/6). Kesejahteraan masyarakat akan makin terancam, jika kenaikan harga tidak disertai dengan pendapatan yang memadai.
Selain itu, masih terdapat sekitar 26 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu dengan penghasilan di bawah Rp415.614,00 per bulan. Jangankan untuk biaya kesehatan dan listrik, untuk memperoleh pangan pun masih banyak rakyat yang kesulitan.
Publikasi yang dikeluarkan Bank Pembangunan Asia menyatakan bahwa pada tahun 2016 hingga 2018 masih ada 22 juta orang menderita kelaparan di Indonesia (CNBC Indonesia, 9/11). Bagi masyarakat miskin, 76% dari pengeluaran mereka masih difokuskan untuk memperoleh pangan pokok, alih-alih untuk keperluan lainnya seperti kesehatan dan listrik (Badan Pusat Statistik, Maret 2018).
Walaupun melalui mekanisme yang berbeda-beda, namun ada satu kesamaan penyebab kenaikan harga-harga ini, yaitu minimalisasi peran negara dalam sektor publik. Perlahan tapi pasti, “pelayanan” publik yang mestinya diberikan cuma-cuma, telah berubah menjadi “komoditas” publik yang hanya bisa didapatkan setelah membayar.
Ada pandangan yang mengatakan bahwa “tidak semua kebutuhan rakyat harus dipenuhi oleh negara.” Negara harus melibatkan pihak swasta dalam kepengurusan rakyat, membentuk sebuah pasar persaingan bebas agar rakyat termotivasi meningkatkan kualitas diri dan ikut bersaing. Konsep ini digunakan di negara-negara barat yang menganut sistem ekonomi liberal atau neoliberal kapitalistik.
Padahal, kehadiran negara haruslah ada untuk melindungi ekonomi rakyatnya. Jika rakyat dibiarkan bertarung dengan swasta dalam mekanisme persaingan bebas, maka untuk apa ada sebuah negara? Siapakah sebenarnya yang paling diuntungkan dengan adanya pencabutan subsidi dan kenaikan tarif pelayanan publik: rakyat, atau investor swasta?
Dalam sejarah umat Islam, pernah ada kepemimpinan yang memberikan pengurusan rakyat dan pelayanan publik tanpa campur tangan swasta, yaitu pada masa kekhalifahan yang telah diakui bahkan oleh dunia barat. Pada masa itu, akidah dan syariat Islam dijalankan secara menyeluruh oleh pemerintah dan warga negara, termasuk penduduk non muslim yang juga dipenuhi hak-haknya.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pengelolaan ekonomi sesuai syariat berhasil mengentaskan kemiskinan hanya dalam waktu 2 tahun 6 bulan, hingga tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat. Hal tersebut juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, kala Muadz bin Jabal menjadi Gubernur di Yaman.
Kemajuan transportasi dalam bentuk pembangunan jaringan jalan tersistematisasi ditemui pada masa kekhalifahan Abbasiyah (abad 8-10). Kesehatan masyarakat juga mendapat perhatian penting dalam syariat Islam, sebagaimana Nabi Muhammad SAW menugaskan tabib yang dihadiahkan kepada beliau untuk melayani masyarakat dengan cuma-cuma.
Pada masa kekhalifahan, dibangun banyak rumah sakit yang memberikan pelayanan kepada pasien di beberapa kota. Di Kairo, terdapat Bimaristan Al-Mansuri yang mampu menampung 8000 pasien dengan pelayanan yang diberikan secara gratis. Khalifah Al Muqtadir Billah bahkan memerintahkan pengadaan apotik dan klinik berjalan yang mengunjungi setiap desa.
Peran pemimpin kala itu mengambil kendali penuh atas pelayanan publik. Kepemilikan individu (private sector), diperkenankan ada namun tidak terlibat dalam sektor publik sebagaimana diatur dalam syariat Islam. Terbukti selama ratusan tahun umat Islam mampu mengelola sumber daya yang ada walaupun belum mengenal istilah investor dan keterlibatan pihak swasta. Tidakkah kita rindu? (RA)
*Praktisi Kesehatan di Purwakarta, Tim Media Healthcare Professionals for Sharia (HELP-S)