Retret Nihil Urgensi di Tengah Efisiensi Anggaran

Oleh: Umul Asminingrum, S.Pd.
Aktivis Muslimah
LenSa MediaNews.Com, OPINI–Sebanyak 505 kepala daerah terpilih dalam Pilkada 2024 akan mengikuti program retret selama tujuh hari di Borobudur International Golf and Country Club, Magelang, Jawa Tengah. Pembekalan ini akan digelar setelah mereka dilantik di Istana Negara pada 20 Februari 2025 (Tirto.id, 19-02-2025).
Di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang terus digaungkan pemerintah, penyelenggaraan retret ini menimbulkan tanda tanya besar. Seberapa mendesak program ini bagi peningkatan kinerja pemerintahan daerah? Jika anggaran terbatas, apakah bijak mengalokasikannya untuk acara semacam ini?
Retret ini berpotensi menghambat konsolidasi pemerintahan daerah yang baru saja dilantik. Padahal, masyarakat membutuhkan kepemimpinan yang sigap dalam menangani persoalan mendesak seperti inflasi daerah, kesiapan pangan, dan persiapan arus mudik menjelang Ramadan. Jika efisiensi anggaran benar-benar menjadi prioritas, seharusnya setiap kebijakan, termasuk pembekalan pejabat, dievaluasi secara kritis agar tidak membebani keuangan negara tanpa manfaat nyata bagi rakyat.
Retret atau Pemborosan?
Shofie Azzahrah, peneliti dari Next Policy, menilai bahwa retret kepala daerah perlu dikaji ulang, terutama terkait waktu pelaksanaannya. Menurutnya, menjelang Ramadan, pemerintah daerah seharusnya lebih fokus pada tantangan seperti ketersediaan stok pangan dan pengendalian inflasi.
Selain itu, penyelenggaraan retret ini bertolak belakang dengan kebijakan efisiensi anggaran yang justru memangkas layanan publik. Saat rakyat kesulitan mengakses pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok akibat keterbatasan dana pemerintah. Para pejabat justru menikmati fasilitas mewah atas nama pembekalan kepemimpinan.
Ironisnya, efisiensi anggaran lebih sering digunakan untuk mendukung proyek besar seperti Moving the Capital City (IKN), yang manfaatnya bagi masyarakat masih dipertanyakan. Sementara itu, kebijakan yang lebih menyentuh kepentingan rakyat, seperti subsidi kebutuhan pokok atau program peningkatan kesejahteraan, sering kali dipangkas dengan alasan defisit anggaran.
Fenomena ini menegaskan bahwa dalam sistem kapitalisme, negara lebih berpihak pada kepentingan elite dibanding rakyat. Pemerintah berperan sebagai fasilitator kepentingan korporasi, bukan pelayan masyarakat. Desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah pun kerap memperlebar jurang antara kebijakan elit dan realitas rakyat di akar rumput.
Kepemimpinan dalam Islam: Fokus pada Kemanfaatan Umat
Dalam Islam, pemimpin (khalifah) berfungsi sebagai raain (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat. Ia bertanggung jawab memastikan kesejahteraan umat, menegakkan hukum Islam, serta menjaga keamanan dan stabilitas negara. Kepemimpinan bukan sekadar posisi politik, melainkan amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Islam menyiapkan pemimpin dengan pendidikan berbasis akidah dan syariat. Membentuk karakter pemimpin yang adil, bertakwa, dan berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Pembekalan kepemimpinan dalam Islam tidak berfokus pada kemewahan, tetapi pada efektivitas dan efisiensi. Setiap pengeluaran negara digunakan semata-mata untuk kepentingan umat, bukan untuk acara seremonial yang menghamburkan uang rakyat.
Sistem Islam memastikan bahwa setiap kebijakan, termasuk pengadaan pembekalan kepemimpinan, dirancang dengan prinsip efisiensi dan manfaat maksimal. Pemimpin dipersiapkan dengan pembinaan intelektual, spiritual, dan keterampilan praktis agar mereka kompeten, amanah, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi budaya seremonial berlebihan yang justru membebani keuangan negara.
Jika negara benar-benar ingin menyiapkan pemimpin yang bertanggung jawab dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, sudah saatnya meninjau ulang sistem kepemimpinan yang diterapkan. Islam telah menunjukkan bagaimana kepemimpinan yang adil dan efektif mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, tanpa menghamburkan anggaran untuk kepentingan segelintir elite. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/ry].