Retret Kepala Daerah Vs Efisiensi: Antara Kepentingan Pejabat dan Nasib Rakyat

White Torn Paper Coming Soon Facebook Post_20250226_204724_0000

Oleh : Nettyhera

 

Lensa Media News – Retret kepala daerah kembali menjadi sorotan. Kegiatan yang diklaim sebagai sarana peningkatan koordinasi antara pusat dan daerah ini justru menuai kritik. Banyak yang mempertanyakan efektivitasnya di tengah berbagai persoalan krusial yang dihadapi rakyat, terutama menjelang bulan Ramadhan. Kesiapan stok pangan, pengaturan mudik Lebaran, hingga stabilitas harga menjadi tantangan nyata yang seharusnya lebih diprioritaskan oleh para kepala daerah.

Namun, alih-alih fokus pada konsolidasi dengan jajaran di bawahnya, mereka justru berkumpul dalam acara yang sering kali sarat dengan fasilitas mewah. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah retret benar-benar diperlukan, atau hanya menjadi ajang seremonial yang menghamburkan uang rakyat?

 

Ironi Efisiensi Anggaran dan Beban Rakyat

Pemerintah kerap berbicara tentang efisiensi anggaran, tetapi realitasnya sering kali kontradiktif. Di satu sisi, rakyat diminta untuk memahami pemotongan berbagai subsidi dan program bantuan demi keberlanjutan fiskal. Namun di sisi lain, anggaran justru dialokasikan untuk kegiatan yang tidak memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.

Inilah wajah nyata dari negara dalam sistem kapitalisme, lebih berperan sebagai operator dan fasilitator bagi kepentingan korporasi dibandingkan sebagai pelayan rakyat. Otonomi daerah yang seharusnya memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk lebih mandiri dalam mengurus rakyat, justru sering kali dijadikan alasan untuk kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil.

Ironisnya, retret yang diadakan dengan fasilitas serba mewah ini terjadi di tengah beban hidup rakyat yang semakin berat. Ketimpangan ini memperlihatkan minimnya empati di kalangan pejabat terhadap kondisi masyarakat yang sedang berjuang memenuhi kebutuhan pokok mereka.

 

Pemimpin sebagai Pelayan Rakyat, Bukan Penguasa yang Bermegah-megah

Islam menetapkan bahwa pemimpin adalah ra’īn (pengurus rakyat) yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Rasulullah ﷺ bersabda:

Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam, seorang pemimpin dituntut untuk benar-benar memahami perannya sebagai pelayan rakyat. Ia tidak boleh hidup dalam kemewahan sementara rakyatnya mengalami kesulitan. Sebagai contoh, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai pemimpin yang sangat sederhana, bahkan enggan menikmati fasilitas lebih dari rakyatnya sendiri.

Islam juga memiliki sistem pendidikan yang melahirkan pemimpin berkualitas tanpa perlu pembekalan yang sarat dengan seremoni dan kemewahan. Jika pun ada program pembekalan, maka itu akan diselenggarakan seefektif dan seefisien mungkin, fokus pada substansi, bukan sekadar acara prestisius yang membebani keuangan negara.

 

Prioritaskan Kepentingan Rakyat

Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat, kepala daerah seharusnya lebih mengutamakan konsolidasi dengan bawahannya, merancang kebijakan yang berpihak kepada rakyat, serta memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi. Bukan malah sibuk dengan acara seremonial yang berjarak dari realitas penderitaan rakyat.

Saatnya kita kembali kepada sistem kepemimpinan yang benar-benar mengutamakan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang diajarkan Islam. Hanya dengan pemimpin yang amanah dan sistem yang benar, negeri ini bisa keluar dari kegelapan dan menuju kesejahteraan yang hakiki.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis