Pemimpin Baru, Masyarakat Maju?
Oleh: Isnani Az-Zahidah
Lensamedianews.com, Opini – Pelantikan pemimpin baru sebagai presiden ke-8 dan wakil presiden ke-14 di Senayan pada Minggu, 20 Oktober 2024 telah dilaksanakan. Masyarakat menganggap kesejahteraan bergantung individu pemimpin. Padahal selain hal tersebut, juga bergantung pada sistem yang diterapkan. Selama negeri ini menerapkan sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis, maka tidak akan mengalami perubahan lebih baik karena sistem yang diterapkan adalah sistem yang cacat sejak lahir, sistem rusak dan merusak. Apalagi kebijakan-kebijakan yang dijanjikan masih sama dengan pemimpin yang berkuasa sebelum-sebelumnya.
Selama masa transisi menuju pemerintahan baru, sejumlah kebijakan yang akan diterapkan pemimpin baru negeri ini selama lima tahun ke depan sudah mulai terungkap. Pertama, janji dan kebijakan utama di bidang ekonomi sebagaimana dirangkum dari liputan6.com (20/10/2024), membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk memusatkan pendapatan negara dari sektor pajak, nonpajak, dan bea cukai melalui satu pintu. Kedua, pertumbuhan ekonomi, mentargetkan mencapai 8% selama masa pemerintahannya. Ketiga, sektor properti yang berencana menghapus pajak properti.
Itulah janji dan kebijakan yang akan dilakukan oleh pemimpin baru negeri ini. Akankah berhasil menjadikan perubahan menuju masyarakat emas atau sejahtera?
Sudah pasti jawabannya tidak akan berhasil. Mengapa? Karena para pejabat pengelola negeri ini dan sistem yang diberlakukan sama dengan sistem sebelumnya yaitu sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis sekuler, yang sudah terbukti gagal dalam menyejahterakan rakyat dan gagal mengelola negeri ini.
Terkait individu para menteri yang dipilih banyak berkasus. Ada yang terkena korupsi, penipuan gelar akademis, tersandung kasus perzinaan, dan bahkan menteri keuangan yang terpilih lagi di pemerintahan baru ini akan menaikkan pajak diberbagai sektor termasuk ppn 12% dengan tujuan untuk menjaga kesehatan APBN atau kas negara.
Dan kondisi rakyat jauh dari tenteram dan sejahtera. Kemiskinan terjadi di mana-mana. Kesenjangan antara miskin dan kaya makin lebar. Undang-undang dibuat hanya untuk menguntungkan pemilik modal dan oligarki. Sumber daya alam yang melimpah diserahkan pengelolaannya kepada swasta dan asing. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator. Penguasa berlepas tangan dari pengurusannya terhadap pemenuhan hajat hidup rakyat.
Harapan Baru Indonesia Maju yang diusung pemimpin baru dengan visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 hanya dengan persatuan, kesatuan, kebersamaan bangsa dalam Astacita (delapan cita-cita) adalah ilusi belaka.
Jika ditelisik lebih dalam, sejatinya kemajuan sebuah bangsa dikarenakan peran pemimpin dan sistem yang diterapkan. Dan jika kemajuan yang diharapkan bisa menyejahterakan dan menenteramkan rakyat sesuai dengan fitrah kemanusiaan maka penerapan sistem yang shahih-lah yang pastinya untuk diterapkan.
Pada sistem Islam terbukti selama 13 abad, Islam diterapkan dalam sebuah institusi negara mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Memiliki peradaban yang tinggi dan luhur. Islam menetapkan kriteria pemimpin sebuah negara yaitu dia harus laki-laki, muslim, merdeka, baligh, adil, berakal, mampu. Tugas utama kepala negara (imam/ khalifah) adalah menerapkan hukum-hukum syariat. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum, “Khalifah (kepala negara) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syariat.” (Zallum, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, hlm. 49).
Ada dua tugas seorang pemimpin yaitu berfungsi sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Pertama, fungsi raa’in yakni pengurus urusan rakyat, termasuk pengurusan hajat hidup publik sesuai tuntunan syara’. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).
Kedua, fungsi junnah yaitu pelindung sekaligus sebagai pembebas manusia dari berbagai bentuk dan agenda penjajahan. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).
Sehingga kebijakan yang ditetapkan semua demi kepentingan dan berpihak pada rakyat, bukan untuk pemilik modal atau oligarki. Kebijakan yang ditetapkan berlandaskan hukum-hukum yang diturunkan Allah baik terkait dengan problem individu, masyarakat, bahkan bernegara. Hanya dengan pemimpin yang amanah, adil, dan menerapkan hukum-hukum Allah dalam menyelesaikan semua permasalahan bernegara akan menjadi pemerintahan baru, harapan baru, dan menuju masyarakat emas, dan memiliki peradaban tinggi.
Allahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]