Sistem Sekuler Melanggengkan Korupsi

Oleh : Nurjannah Sitanggang

 

LenSa Media News.com, Ramai pembahasan pengampunan koruptor setelah presiden Prabowo mengeluarkan pernyataan akan mengampuni koruptor. Presiden Prabowo Subianto berencana memaafkan koruptor dan menghapus hukuman yang diterima dengan syarat mereka mengembalikan kerugian negara. Rencana itu tidak masuk akal karena konsep pengampunan terpidana korupsi tidak ada dalam sistem hukum Indonesia, kata pakar hukum Bivitri Susanti (BBC, 23-12-2024).

 

Masyarakat harus bersikap kritis terhadap wacana ini. Dan sudah semestinya memandang wacana pengampunan koruptor tidak lain sebagai bukti bahwa negara telah berdiri memberi perlindungan kepada para koruptor dalam lingkungan pemerintahan. Padahal korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Namun negara kini bersikap seolah tak kuasa melawan koruptor. Hingga akhirnya muncul narasi pengampunan pada koruptor .

 

Sungguh! fenomena ini menjadi bahaya tersendiri bagi umat. Saat koruptor diampuni itu berarti tidak ada efek jera bagi mereka, maka kejahatan yang sama akan semakin merajalela. Memutus rantai korupsi tentu bukan dengan mengampuninya.

 

Sulitnya mecari pemimpin amanah memang tidak lepas dari sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan. Tanpa agama sulit membentuk Individu yang bertakwa. Sehingga banyak pejabat yang tanpa malu dan tanpa rasa takut akhirnya menjadi perampok harta rakyat.

 

Hal ini diperparah dengan sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal sehingga siapapun yang mau terjun dalam kursi kekuasaan maka harus menyediakan modal yang tidak sedikit. Pada akhirnya masa berkuasa pun sibuk untuk mengembalikan modal dan korupsi menjadi salah satu jalannya.

 

Sistem demokrasi sekuler memang membuka pintu lebar untuk para koruptor dan melanggengkan pelaku korupsi. Bahkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan 138 calon pada Pilkada 2024 pernah menjadi tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, terlapor, atau pernah disebut dalam persidangan kasus korupsi.

 

Jumlah ini mencakup para kandidat gubernur dan wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota, serta bupati dan wakil bupati (Tempo.com, 27-11-2024). Ini menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang sejak awal memang tidak punya integritas.

 

Ini juga menunjukkan bahwa narasi pengampunan koruptor sebenarnya bukan hal aneh dalam sistem demokrasi sekuler. Rakyat harus sadar bahwa sistem sekuler memang tidak akan mampu menghentikan korupsi.

 

Rasulullah saw. bersabda, “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan Ruwaibidhah turut bicara.” Lalu beliau ditanya, “Apakah al-ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab,“Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum” (HR Ibnu Majah).

 

Inilah wajah negara yang diatur dengan sistem kapitalisme demokrasi. Sistem politik demokrasi meniscayakan perlindungan kepada para koruptor. Pasalnya praktik politik demokrasi memang begitu mahal.

 

Untuk mengamankan agar para penguasa yang juga berstatus pengusaha ini bisa mengembalikan modal maka perlu undang-undang yang melindungi aktivitas mereka atau melepaskan mereka dari sanksi. Maka dibuatlah undang-undang dan kebijakan baru untuk menyukseskan agenda tersebut. Meskipun Aturan itu bertentangan dengan penegakan hukum dan undang-undang korupsi.

 

Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam memiliki tiga pilar untuk mencegah terjadinya kemaksiatan dan kejahatan. Tiga pilar ini akan berjalan dengan optimal dalam sistem khilafah. Ketiga pilar tersebut adalah ketakwaan individu, budaya amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, dan kehadiran negara.

 

Dalam Islam kepemimpinan dan jabatan seharusnya diberikan kepada orang yang amanah. Korupsi sama halnya dengan mengkhianati amanah. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (TQS Al-Anfal:27).

 

Dalam Islam negara berperan sebagai ra’in atau pengurus dan junah atau pelindung. Ketakwaan individu akan mencegah seseorang untuk berbuat maksiat sehingga tatkala dia menjadi pejabat negara dia akan berusaha amanah untuk mengurus rakyat. masyarakat khilafah bukan masyarakat apatis terhadap kemaksiatan.

 

Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar untuk menghentikannya. Kondisi individu dan masyarakat demikian merupakan hasil didikan Islam yang berasal dari keluarga Islam dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan oleh negara.

 

Negara berperan sebagai ra’in dan junah yang akan senantiasa memastikan pejabatnya amanah dengan tugas-tugasnya dan memastikan rakyatnya mendapatkan keadilan. Amanah menjadi salah satu kriteria pegawai dalam Islam. Orang yang tidak amanah tidak pantas diserahkan urusan padanya.Wallahua’lam. [ LM/ry ].

Please follow and like us:

Tentang Penulis