Oleh: Denik Eka

 

LenSa Media News–Beberapa waktu lalu viral video 11 warga negara Indonesia(WNI) diduga menjadi korban TPPO(Tindak Pidana Perdagangan Orang) di wilayah Myawaddy, Myanmar. Dalam video tersebut mereka meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi dari tempat penampungan.

 

WNI yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat dan luar Jawa Barat ini mengaku disekap selama hampir dua minggu lebih dan sering mendapat siksaan dari pihak perusahaan yang memperkerjakan mereka. Pihak perusahaan juga disebut meminta tebusan sebanyak 550 juta rupiah untuk bisa membebaskan mereka (Tirto.id, 15-9-2024).

 

TPPO Bukan Perkara Baru

 

Kasus TPPO yang menimpa warga negara Indonesia bukanlah perkara baru. Dalam rentang tahun 2020 hingga Juni 2023, SBMI(Serikat Buruh Migran Indonesia) telah mendokumentasikan kasus TPPO sebanyak 1343 kasus. Sektor Pekerja Rumah Tangga (PRT) masih mendominasi dengan korban TPPO terbanyak sebanyak 362 kasus.

 

Sektor pekerjaan lainnya yang mengikuti yaitu dengan modus Online Scam sebanyak 279 kasus, sektor peternakan sebanyak 218 kasus, buruh pabrik sebanyak 193 kasus, Awak Kapal Perikanan (AKP) Migran sebanyak 153 kasus dan diikuti oleh sektor pekerjaan lainnya. Dalam kurun 3 tahun tersebut, SBMI melihat korban-korban TPPO tertinggi dialami oleh laki-laki dengan 882 korban dan perempuan sebanyak 461 korban.

 

Butuh Perubahan Besar

 

Faktor penyebab terjadinya TPPO sebenarnya sudah lama diketahui. Yakni kurangnya kesempatan kerja, rendahnya edukasi, maraknya sindikat dan dugaan keterlibatan aparat, juga penegakan hukum yang lemah. Namun celah-celah terjadinya TPPO tersebut tidak segera ditangani oleh pemerintah, sehingga kasus TPPO terus berulang hingga saat ini.

 

Kasus TPPO bisa diselesaikan secara tuntas jika negara menjamin kesejahteraan rakyatnya dan rakyat hidup dengan taraf pendidikan tinggi. Namun kedua hal tersebut menjadi hal yang sulit diraih karena derasnya kran investasi di negeri ini.

 

Negara justru membuat undang-undang yang mempermudah para kapital meliberalisasi sektor-sektor publik negeri ini. Baik itu sumber daya alam, pendidikan, kesehatan dan yang lainnya. Rakyat menjadi susah mengakses kebutuhan karena dikomersilkan oleh swasta. Rakyat tidak mendapat lapangan pekerjaan yang layak karena lapangan pekerjaan diatur oleh swasta. Rakyat menjadi sumber daya manusia rendah karena pendidikan begitu mahal.

 

Semua penderitaan tersebut terakumulasi sehingga membentuk rakyat yang  memiliki pola pikir dan pola sikap pragmatis. Mereka menjadi mudah tergiur dengan tawaran pekerjaan dari luar negeri.

 

Begitulah tabiat negara yang mengambil sistem kapitalis sebagai acuan pengaturannya. Sistem kapitalis menjadikan pelayanan negara kepada rakyatnya setengah hati, atau bahkan tidak ada sama sekali. Karena negara beralih peran dari pelayan menjadi fasilitator semata. Negara akan membuat aturan bagi agenda korporasi sebagai operator penguasa dan pebisnis hajat hidup publik. Pemerintah cukup mengurusi kelompok miskin dengan standar pelayanan minimalis.

 

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Islam menetapkan bahwa pemerintah adalah pelayan rakyat. Pejabat ditunjuk untuk melaksanakan tata aturan Islam demi kesejahteraan rakyat. Islam memiliki strategi politik ekonomi yang akan menjamin kesejahteraan rakyat orang per orang.

 

Kesejahteraan akan mencegah terjadinya TPPO. Islam memiliki sistem pendidikan yang akan mencetak individu yang bertakwa, yang mencegah untuk melakukan kejahatan. Sistem hukum Islam akan efektif dalam mencegah terjadinya TPPO, karena sanksi dalam Islam bersifat mencegah dan menebus. Sehingga pelaku kejahatan menjadi jera dan yang belum melakukan kejahatan menjadi takut untuk melakukan.

 

Jadi bagaimana seharusnya menuntaskan persoalan TPPO? Beralihlah dari sistem kapitalis menuju sistem Islam. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis