Fufufafa dan Cinderella


Oleh Ummu Zhafran
Pegiat literasi

 

 

LenSa MediaNews_ Bak Putri Cinderella yang ketinggalan sepatu sebelah, Fufufafa ketinggalan akun di sosial media. Kisahnya serupa tapi tak sama. Serupa, karena ketinggalan, seantero negeri ikut mencari dan menduga. Bedanya, Cinderella dongeng yang melegenda, Fufufafa kisah nyata.

 

Harus diakui, ribut-ribut soal akun tanpa nama asli pemiliknya ini belakangan cukup menguras perhatian. Ramai orang penasaran siapa di balik akun yang jejak rekamnya di sosial media memancing kontroversial. Belakangan, akun tersebut kabarnya sudah dihapus. Namun, tangkapan layar terkait cuitan Fufufafa masih berseliweran, terutama kata-kata yang konon menyerang sosok Presiden terpilih, keluarga dan para pendukungnya saat Pilpres 2014 dan 2019. (tribunnews.com, 11-9-2024)

 

Meskipun hingga saat ini tak diketahui pasti kebenaran siapa pemilik asli akun Kaskus tersebut, namun tulisan ini tak hendak fokus ke sana. Melainkan apa yang tercermin dari ragam komentar Fufufafa yang sukses membuat heboh jagat maya hingga dunia nyata.

 

Ada hal menarik saat menyimak kesimpulan dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia (PSAD UII), usai menggelar diskusi daring bertema Fufufafa: Pemilik, Implikasi Hukum dan Etik” beberapa waktu lalu. Beberapa poinnya antara lain, keberadaan akun tersebut harus diakui telah menjadi residu politik digital dan merusak percakapan politik digital yang sehat. Selain itu, terdapat unsur yang menjadikan perempuan sebagai objek yang dapat dieksploitasi dan direndahkan.
Bahkan kebencian yang ditujukan kepada perempuan dalam konten-kontennya sangat vulgar. (cnnindonesia, 22-9-2024)

 

Tentu apa yang disimpulkan PSAD UII layak memantik keprihatinan. Sebab Fufufafa bisa jadi tidak sendiri. Banyak lainnya yang melakukan hal yang kurang lebih sama. Mencatut nama yang bukan sebenarnya, lalu sana-sini melempar cacian, hujatan, maupun makian bahkan pelecehan dan perundungan. Bila digugat, biasanya lalu berlindung di balik dalih kebebasan berbicara dan berpendapat atas nama demokrasi.

 

Cobalah jujur menjenguk relung dalam hati kita yang terdalam. Inikah bentuk kebebasan yang diinginkan? Ketika semua norma dan aturan bisa ditabrak sesuai keinginan dan kepentingan. Jika ya, sudah pasti hal ini memilukan. Pantas saja kasus penghinaan bahkan pelecehan pada manusia mulia, teladan sepanjang masa, Baginda Nabi Muhammad saw. terus terjadi. Astagfirullah.

 

Sebagai makhluk yang di akhir hidup akan menghadap Allah, tentu lebih dari wajar bila kembali merujuk apa kata Islam tentang hal ini. Kebebasan seperti yang diinginkan demokrasi sejatinya tak pernah ada dalam Islam. Sebab keimanan kepada Allah SWT, juga Rasulullah saw. akan menegakkan kesadaran untuk taat pada segenap perintah dan larangan Allah baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, hingga bermasyarakat dan bernegara.

Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (QS Ali Imran: 31)

 

Mukmin yang mengimani Allah akan terdorong untuk cinta kepada Allah. Namun cinta hakikinya bukan hanya pengakuan lisan dan bukan pula khayalan dalam angan-angan. Namun harus disertai sikap mengikuti Rasulullah saw. dalam seluruh aspek kehidupan meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya. (Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an)

 

Alhasil, Islam memang tak mengenal kebebasan berperilaku dan berpendapat seperti yang diagungkan demokrasi. Tapi bukan berarti pengekangan yang terjadi. Melainkan syariat menempatkan posisi manusia sebagai makhluk sekaligus hamba yang tahu diri. Bahwa ketika Allah SWT menciptakan alam semesta lalu menurunkan rahmat berupa risalah, maka sudah pasti untuk kebaikan dan keselamatan manusia yang tak hanya di dunia juga sampai kelak di akhirat. Terlebih tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah, menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidak yang lain.

 

Maka silakan berkata dan berpendapat, asal masih dalam koridor syariat. Bukan kata-kata serampangan tanpa makna atau sarat benci, iri maupun dengki. Apa lagi terdapat hadis Rasulullah saw.,
Sungguh ucapan terbaik adalah Kalamullah.” (HR Bukhari)

 

Sayang, akibat sekularisme, induk dari demokrasi yang diadopsi negeri, Kalamullah justru kerap diabaikan. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan ini sukses mencetak tak sedikit figur yang pintar bicara tapi kosong dari pesan Al-Qur’an. Bahkan tak sedikit yang mengumbar kata namun kontennya justru bertentangan dengan Al-Qur’an. Fufufafa salah satunya. Wallahua’lam.

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis