Sumur Idle Mau diaktivasi, Salah Paham Kelola Bumi
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd
LenSa Media News–Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia berencana merevitalisasi sumur minyak yang saat ini menganggur alias tidak aktif atau idle. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah dalam menggenjot produksi minyak nasional. Bahlil menilai bahwa pemanfaatan sejumlah sumur minyak selama ini masih kurang optimal.
Adapun dari total 44.985 sumur minyak yang ada, setidaknya hanya terdapat 16.990 sumur yang masuk kriteria idle well alias tidak aktif. Itu berarti 20 ribu sumur sisanya masih aktif. Namun, tidak semua sumur idle dapat diaktivasi kembali karena berbagai alasan, termasuk potensi subsurface yang tidak memadai, biaya reaktivasi yang tinggi, penolakan dari masyarakat, dan isu HSE (Health, Safety, and Environment) (rri.co.id, 26-8-2024).
Oleh sebab itu, rencana pengelolaan sumur idle ini ditawarkan kepada para investor, baik itu investor dalam negeri maupun luar negeri. Menurut Bahlil, potensinya masih cukup besar yakni dengan mengoptimalkan kembali sumur-sumur yang ada, negara dapat meningkatkan produksi migas secara signifikan tanpa perlu melakukan eksplorasi baru yang membutuhkan waktu dan biaya yang lebih besar.
Reaktivasi sumur idle ini diharapkan akan menjadi langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, terlebih lagi untuk peningkatan produksi migas supaya mengurangi ketergantungan pada impor sekaligus meningkatkan devisa negara.
Adapun yang perlu dikritisi adalah mengapa rencana revitalisasi sumur idle ini ditawarkan kepada para investor, bahkan diberikan wewenang dalam mengelolanya. Sejatinya mengandalkan investor dalam pengelolaan sumber daya alam membuktikan bahwa negeri ini tidak memiliki visi yang sungguh-sungguh dalam membangun ketahanan energi.
Padahal, energi minyak bumi sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup masyarakatnya. Oleh karena itu, pengelolaannya pun seharusnya dipikirkan secara serius dan ditangani langsung oleh negara.
Akan tetapi, faktanya negara malah enggan melakukan eksplorasi dengan alasan biaya yang mahal dan proses yang sulit. Negara malah fokus memanfaatkan sumur minyak idle dengan tetap bergantung pada investor. Inilah gambaran penguasa yang hanya bertindak sebagai regulator bukan pengurus rakyat.
Negara seolah tidak ingin rugi saat melakukan upaya produksi energi untuk rakyat bahkan tanpa memikirkan lebih jauh lagi, apakah produksi hasil pengolahan sumur minyak itu memenuhi kebutuhan dalam negeri atau tidak.
Kebijakan yang asal dapat keuntungan menggambarkan buruknya kualitas pejabat sebagai buah buruk sistem yang diterapkan hari ini yakni sistem kapitalisme demokrasi. Pejabat seharusnya berpikir strategis untuk mengelola sumber daya alam atau SDA yang besar yang membawa manfaat dan keberkahan untuk bangsa.
Indonesia harus bersyukur karena memiliki sumber daya minyak dan gas yang berlimpah. Keberlimpahan ini bisa dimanfaatkan negara untuk membangun ketahanan energi tanpa harus bergantung pada investor lokal maupun asing.
Namun atas nama liberalisasi sebagai konsekuensi penerapan sistem kapitalisme, negara harus membuka peluang bagi pihak swasta untuk melakukan pengelolaan atasnya. Sungguh liberalisasi migas hanya mengecilkan peran negara dalam mengelola sumber daya alam dan memperbesar peran swasta demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Berbeda dengan pengelolaan sumber daya alam termasuk migas di bawah negara yang menerapkan Islam secara sempurna. Islam memiliki konsep kepemilikan dan mekanisme pengelolaan sumber daya alam sesuai tuntunan Allah dan rasulNya.
Pengelolaan ini akan membawa kesejahteraan bagi semua rakyat dan keberkahan dari Allah dalam sistem ekonomi Islam. Migas yang depositnya cukup banyak masuk kategori milik umum yang wajib dikelola oleh negara, bukan swasta.
Rasulullah telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis. Beliau bersabda, “manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Daud)
Hadis tersebut sangat gamblang menjelaskan bahwa sumber daya alam apapun yang jumlahnya melimpah termasuk migas tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan dua cara, pertama yaitu pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat umum. Setiap individu, siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air sungai untuk pengairan, pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput, dan lain-lain selama tidak menimbulkan mudharat bagi individu lain.
Cara kedua yaitu pemanfaatan di bawah pengelolaan negara. Dalam konteks ini kekayaan milik umum tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian teknologi tinggi serta biaya yang besar seperti pengelolaan minyak bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya. Maka wajib dikelola oleh negara. Dengan demikian, negara telah membuktikan bahwa dirinya mampu mengurus rakyatnya.Wallahualam bissawab. [LM/ry].