Bhinnekaku Sayang Bhinnekaku Malang
Oleh: Rararatih
LenSa Media News–Tanggal 17 Agustus adalah momen dimana seluruh rakyat Indonesia memiliki hajat besar, yaitu upacara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun sayangnya terjadi kegaduhan pada persiapan untuk menyambut acara tersebut.
Berita bahwa para anggota Paskibraka pusat dihimbau untuk melepas kerudungnya, dengan alasan sebagai penyesuaian seragam. Hal ini diketahui dari unggahan foto bersama saat acara pengukuhan. Ada sekitar 18 orang, yang awalnya berkerudung, tapi saat pengukuhan tidak lagi mengenakannya.
Tak ayal, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mendapat sorotan usai 18 anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional 2024 melepas jilbab saat menjalani pengukuhan di Istana Negara Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Selasa (13/8/2024) (Kompas.com, 15-8-2024).
Terlebih Yudian menyatakan, BPIP tidak memaksa para anggota Paskibraka untuk melepas jilbab. Mereka mematuhi peraturan secara sukarela. Para anggota itu menandatangani surat pernyataan bermaterai tentang kesediaan mematuhi peraturan pembentukan dan pelaksanaan tugas Paskibraka.
Beberapa kalangan yang memberikan kritik di antaranya, MUI, Muhammadiyah, PKS dan dari beberapa tokoh lainnya. Sebab, dalam aturan mengenai atribut kelengkapan seragam Paskibraka tahun 2022, ada poin yang menyebutkan, memakai ciput berwarna hitam bagi anggota yang berjilbab. Jelas memunculkan tanda tanya, mengapa tahun ini poin itu tidak terbaca?
Di negara yang menganut Pancasila sebagai Dasar Negara apakah ini bisa dikatakan sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri? Padahal jelas di sebutkan dalam sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Juga semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Bagaimana bisa merayakan kemerdekaan tapi mengekang salah satu umat beragama untuk mengekspresikan agamanya?
Perbedaan tak hanya dalam masalah kesukuan, bahasa dan budaya saja, tapi dalam keagamaan dan masih banyak keberagaman yang lain. Maka dari itulah Pancasila hadir untuk merangkul semua keberagaman tersebut.
Bukankah dalam pasal 29 ayat 2 UUD 45 juga diatur tentang kebebasan beragama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing? Lantas kenapa ini bisa terjadi? Pengibaran bendera merah putih memakai jilbab dianggap tidak Pancasilais. Lalu kebebasan beragama yang seperti apa yang diperbolehkan?
Jika difikir secara logika, tak akan mungkin serta merta mereka rela melepas jibabnya begitu saja tanpa ada unsur tekanan, apalagi yang sejak kecil sudah istikamah berjilbab. Tapi pembuat aturan dalam hal ini BPIP, menolak jika disebut pemaksaan. Faktanya peraturan ini dibuat seolah-olah mau tak mau harus melepaskan jilbab dengan dalih keberseragaman.
Apakah ini bisa dibilang masuk dalam tindak pelanggaran HAM? Apakah ini juga termasuk tindakan intoleran? Mau sampai kapan aturan beragama dibenturkan dengan aturan dalam berbangsa dan bernegara? Padahal lebih dari 80% penduduk negeri ini beragama Islam.
Hal semacam ini bila tidak segera diatasi bisa merusak kebhinekaan. Bagaimana tidak, jika isu-isu seperti ini terus digoreng oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab pastinya akan merusak kerukunan terutama antar umat beragama.
Padahal dalam Islam sendiri sudah diatur dengan jelas dan lugas pada QS Al Kafirun, ayat ke 6 yang berbunyi “Lakum diinukum wa liya diin.” Artinya, “untukmu agamamu, dan untukku agamaku“. Ayat ini adalah landasan toleransi dalam Islam yang mengajarkan umat Islam untuk menghargai agama lain tanpa mencampuradukkan ritual keagamaan.
Para pemuda Islam, apapun alasannya dan bagaimanapun keterpaksaan yang sedang dialaminya jangan sampai mengorbankan syariat agama. Apalagi hanya demi iming-iming dunia, hingga menggadaikan keimanan dengan alasan apapun. Ingatlah! berhijab sesuai yang disyariatkan itu adalah kewajiban seorang muslimah. Menutup seluruh tubuhnya dengan jilbab sesuai QS Al Ahzab ayat 59 itulah identitas seorang muslimah. Kalaupun tak bisa jadi Paskibraka tak masalah asal iman tetap melekat di dada.
Lebih baik kehilangan sesuatu karena Allah daripada harus kehilangan Allah karena sesuatu. Banyak cara mencintai dan menjadi kebanggaan negeri ini tanpa harus melanggar apa yang sudah disyariatkan dalam agama. Adanya kemerdekaan pada negeri ini adalah atas kehendak dan anugerah Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini jelas tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke 3.
Jadi sebagai generasi emas negeri ini marilah mengisi kemerdekaan dengan sesuatu yang positif dan tetap berpegang teguh pada syariat. Ikuti apa yang diajarkan Rasulullah SAW dalam bermuamalah antar sesama manusia. Dan tetap jadikan Alquran sebagai pedoman hidup. Wallahualam bissawab. [LM/ry].