Mengambil Pelajaran Dari Palestina dan Rohingya

Oleh: Ranita

 

LenSa Media News–Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”

 

Kutipan QS. Ali Imran ayat 110 ini membuat kita layak menangisi nasib kita. Sejak Islam diturunkan di Mekkah dan ditegakkan negara di Madinah, Allah telah memprogram kita menjadi umat terbaik karena keimanan dan keberanian kita menyeru manusia berbuat kebaikan dan meninggalkan segala bentuk kejahatan.

 

Namun, kondisi umat Islam saat ini sangat lemah. Alih-alih menjadi umat terbaik, umat Islam justru menjadi gelandangan di negerinya sendiri. Palestina dan Rohingya adalah sebagian bukti dimana pemilik tanah terusir dari negeri sendiri.

 

Setelah penganiayaan dan upaya genosida di tanah Arakan Myanmar selama beberapa tahun, penderitaan warga Rohingnya belum juga berakhir. Puluhan pengungsi Rohingya yang menuju Bangladesh tewas dihujani peluru pesawat tanpa awak. Saksi mata mengatakan bahwa tentara Arakan bertanggung jawab atas serangan ini (reuters.com, 12/8/2024).

 

Tak kalah nestapa, Palestina juga menghadapi persoalan serupa. Sejak Inggris menyetujui mobilisasi besar-besaran Yahudi Eropa ke Palestina melalui LBB (Liga Bangsa-Bangsa), perampasan tanah dan pemukiman ilegal terus berlangsung. Bukannya membaik, setelah LBB sirna dan digantikan PBB, Amerika melalui PBB justru menyerukan lahirnya dua negara di tanah Palestina.

 

Selama puluhan tahun perempuan dan anak-anak Gaza menunggu giliran menjadi martir. Sedangkan di wilayah Tepi Barat, rakyat Palestina seolah hidup dalam penjara besar yang dibangun Zionis Israel. Mereka harus meminta izin pada pasukan keamanan Israel saat melintasi wilayah-wilayah Palestina, bahkan untuk sekedar masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsha.

 

Meski belum setragis Palestina dan Rohingya, di Indonesia kondisi muslimnya juga tak baik-baik saja. Di pertengahan Agustus 2024, sejumlah anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang bersiap merayakan kemerdekaan, justru dikekang kemerdekaan mengekspresikan ajaran agamanya karena dilarang mengenakan hijab saat acara pengukuhan dan perayaan kemerdekaan 17 Agustus 2024.

 

Para anggota Paskibraka ini diminta menandatangani surat pernyataan bermaterai untuk mematuhi aturan tersebut (tempo.co, 14/8/2024). Lucunya, pembuat aturan keseragaman ini berdalih mengusung semangat Bhineka Tunggal Ika. Padahal di saat yang sama, mereka menolak kebhinekaan adanya hijab dalam seragam.

 

Muka Dua, Standar Nisbi Demokrasi

 

Saat ini umat Islam menghadapi tantangan serius soal hipokritnya dunia. Munafik, bermuka dua. Di satu sisi menjunjung tinggi kebebasan, tapi di sisi lain mengekang ekspresi kebebasan manusia lainnya. Problem semacam ini muncul sejak manusia dibiarkan membuat aturan untuk sesama manusia.

 

Manusia yang rawan syahwat dunia dan kekuasaan, tak memiliki standar baku menentukan benar-salah dan baik-buruk. Semuanya serba nisbi. Apa yang menjadi standar kebenaran di masa lalu, belum tentu sama dengan standar kebenaran di masa kini. Pun juga di masa depan.

 

Hasilnya, ketidakadilan merajalela. Para penguasa dunia seolah diam atas kezaliman. Kekejian dan kebiadaban yang dilakukan Zionis Israel dan tentara Myanmar terus dibiarkan. Kalaupun PBB menetapkan mereka telah melanggar HAM, nyatanya ketetapan itu tak membuahkan sanksi apapun. Kezaliman terus berlanjut.

 

Dua Masa Yang Berbeda

 

Kezaliman dan ketidakadilan yang menimpa umat Islam bukanlah hal baru. Dalam sejarah kaum muslimin, kezaliman akan menimpa siapa saja yang berupaya masuk Islam atau mempraktikkan ajaran Islam. Kezaliman ini baru berakhir ketika Islam berdiri tegak sebagai sebuah Ideologi dan kepemimpinan berpikir untuk seluruh umat manusia. Diawali dengan tegaknya negara Islam pertama kali di Madinah hingga kepemimpinan para Khalifah setelah Rasulullah.

 

Di masa kepemimpinan Islam, muslim dan non-muslim hidup berdampingan dengan aman dan harmonis. Ekspresi beragama seluruh warga negara terjaga. Tak ada tirani mayoritas atas minoritas, maupun sebaliknya.

 

Di hadapan kepemimpinan Islam, kezaliman dapat dicegah. Para pembenci Islam, menciut nyalinya ketika Islam memiliki kekuatan politik yang mampu menyatukan potensi umat Islam sedunia. Karenanya, tak ada cara lain untuk menghilangkan kezaliman kepada Islam dan kaum muslimin selain dengan membangun kembali kekuatan politik Islam melalui tegaknya kembali Khilafah ‘alaa minhaajin nubuwwah. Wallahualam bissawab. [LM/ry].

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis