Kontrasepsi untuk Anak Sekolah, Kebijakan Gila!
Oleh: Anita Ummu Taqillah
Komunitas Setajam Pena
LenSa Media News–Gila! inilah kata yang tepat atas kebijakan penyediaan kontrasepsi untuk anak sekolah dan remaja. Bagaimana tidak, alat kontrasepsi yang sejatinya hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri, kini justru dilegalkan dan disediakan negara untuk anak sekolah dan remaja.
Dilansir bisnis tempo (1/8/2024), Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), resmi mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
Dalam Pasal 103 disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi (kespro) usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi dan edukasi, serta diberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang terdiri dari deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, dan penyediaan alat kontrasepsi.
Berbagai Kontra Bermunculan
Berbagai kalangan pun merespon PP tersebut. Sebab, kalimat demi kalimat terkesan ambigu dan memunculkan banyak perspektif. Maka wajar jika memunculkan banyak tanya dan kontra.
Koordinator Nasional JPPI (Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia), Ubaid Matraji menyampaikan daripada kontradiktif dengan tatanan sosial di sekolah, lebih baik aturan ini dicabut. Apalagi, menurut data Nasional Centre for Missing Exploited Children (NCMEC), kasus konten pornografi pada anak di Indonesia terbanyak keempat di dunia, dan kedua skala Asia Tenggara (tempo.co, 10/8/2024).
Selain itu, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher mengkritik Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Netty merasa aneh dan mempertanyakan, apakah hal itu berarti seks pada anak sekolah dan remaja diperbolehkan, asal aman dan bertanggungjawab? (tempo.co, 7/8/2024).
Tidak hanya itu, dikutip mediaindonesia (4/8/2024), Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih mengecam terbitnya PP tersebut, karena dianggap tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama.
Kapitalisme Gagal Menjamin Kespro
Banyaknya kontra tentang PP penyediaan alat kontrasepsi anak sekolah dan remaja, menjadi bukti bahwa aturan dalam sistem kapitalisme liberal tidak memiliki sandaran yang kuat. Hal itu dikarenakan aturan demi aturan yang dibuat bersumber dari akal manusia, yang sejatinya serba terbatas.
Di samping itu, meski diklaim aman, PP tersebut juga sangat berpotensi untuk mengantarkan pada liberalisasi perilaku anak sekolah dan remaja. Yaitu menjerumuskan pada seks bebas dan perzinahan. Sehingga akan berimbas pada kerusakan tatanan sosial masyarakat dan menyebarnya penyakit menular seksual.
Hal ini semakin menguatkan pandangan bahwa negeri ini adalah negara sekuler, yang mengabaikan aturan agama pada tatanan kehidupan. Aturan agama hanya diambil yang berkaitan dengan ibadah mahdoh saja, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Kemudian, menafikan yang berkaitan dengan pergaulan, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Islam, Solusi Tuntas Kespro
Jika kespro (kesehatan alat reproduksi) dianggap butuh solusi tuntas, maka seharusnya negeri ini melihat dan menggali dari sisi syariat Islam, yang bersumber dari Allah Swt., Sang Pencipta alam semesta. Apalagi negeri ini mayoritas berpenduduk muslim. Ditambah, syariat Islam sejatinya berlaku dan sesuai untuk seluruh lapisan masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Kecuali dalam hal keyakinan dan ibadah, yang memang tidak boleh dipaksakan kepada non muslim.
Jika kita telisik, gagalnya kespro sejatinya tidak lepas dari kurikulum pendidikan yang diterapkan negeri ini. Minimnya pembekalan dan penguatan keimanan (akidah) pada sistem pendidikan kita, menjadikan perilaku anak sekolah dan remaja jauh dari aturan Islam. Sehingga mereka dengan mudah mengadopsi budaya Barat yang memang tidak difilter oleh negara.
Di sisi lain, edukasi dan pembatasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, membudayanya perilaku pacaran, dan perilaku mengumbar aurat tidak pernah dilakukan oleh negara. Hal-hal seperti ini hanya diberikan di sekolah atau pondok yang berpegang teguh pada syariat, atau hanya di forum-forum kajian yang justru dianggap sumber radikalisme.
Oleh sebab itu, merubah kurikulum hanya berasas akidah Islam akan menjadikan generasi berperilaku dan berkepribadian Islam, serta terikat dengan aturan Islam dimanapun dan kapanpun. Di samping itu, negara juga harus tegas memberi sanksi bagi pelaku.
Misalnya, bagi pelaku zina negara memberi sanksi cambuk (QS. An Nur 1-2), atau rajam. Rasulullah Saw. bersabda, “yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam.” (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit). Wallahualam bissawab. [LM/ry].