Perdagangan Perempuan di Balik “Iming-Iming” Pernikahan
Oleh: Dede Yulianti
LenSaMediaNews– Tragis dan miris. Nasib 29 perempuan WNI yang terindikasi menjadi korban pengantin pesanan di China. Pengantin pesanan merupakan modus dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), sebab ada proses yang mengarah ke perdagangan yang terencana. Seperti yang dilansir Detiknews.com, apa yang dialami korban mengarah pada TPPO, ada unsur proses, cara dan eksploitasi. Ada pendaftaran, penampungan, ada pemindahan, sampai dikirim ke luar negeri. Pihak yang terlibat merupakan sindikat perekrut yang terorganisir, dalam kasus perdagangan manusia antar negara ini.
Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut korban dijanjikan akan menikah dengan orang kaya asal China dan iming-iming dijamin seluruh kebutuhan hidup korban dan keluarganya. Namun, sesampai di China, korban malah dieksploitasi. Mereka diharuskan untuk bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang. Sepulang kerja mereka juga diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami dan keluarga suami. Korban juga kerap dianiaya dan dipaksa berhubungan seksual, bahkan ketika sakit. (Voaindonesia.com, 24/06/2019)
Dimana Peran Negara?
Sungguh mengerikan dan di luar batas kemanusiaan. Pertanyaannya, mengapa para korban tergiur dengan tawaran tersebut? Bisa dipastikan karena faktor ekonomi. Desakan biaya kebutuhan hidup yang kian hari kian melambung tinggi dan sulitnya mencari pekerjaan menyebabkan mudahnya perempuan-perempuan ini terperdaya.
Nasib perempuan di tengah kegagalan peran negara dalam menyejahterakan rakyat, dijadikan tumbal sebagai mesin pengeruk uang. Perempuan dipandang hanya dari sisi ekonomi. Alih-alih menuntaskan persoalan ekonomi, negara malah menjerumuskan perempuan pada keterpurukan yang lebih jauh. Apalagi di sistem kapitalisme saat ini, manusia menjelma menjadi budak materi yang menghalalkan segala cara. Bermunculan modus-modus penipuan dengan memanfaatkan kelemahan perempuan. Hati nurani dan kemanusiaan nyaris tergerus dalam kehidupan yang serba materialistis.
Jika saja negara hadir dan menjalankan fungsinya, mengurusi dan mengelola negeri ini sebagai pelayan rakyat. Mengembalikan seluruh kekayaan berlimpah di tanah zamrud khatulistiwa pada pemiliknya. Tentu tak akan ada perempuan yang terpikat bahkan terjerat pada perdagangan manusia.
Ketika negara telah menjalankan tugasnya, perempuan tak perlu menuntut kesejahteraan. Apalagi sampai bermetamorfosa menjadi tulang punggung atas nama pemberdayaan ekonomi keluarga. Fakta nihilnya peran negara inilah yang menyeret perempuan menanggung beban nafkah, hingga terjebak pada perdagangan manusia yang tak manusiawi. Dijadikan sapi perah, dikuras tenaganya tanpa sedikitpun menikmati hasil keringatnya.
Islam Memuliakan Perempuan
Sungguh mengenaskan nasib perempuan di dalam sistem kapitalisme. Padahal di dalam Islam perempuan bukanlah objek komoditas yang menjadi sumber eksploitasi. Malahan Islam menempatkannya pada posisi yang teramat mulia. Kehormatannya dijaga, jiwa dan raganya dilindungi. Hanya laki-laki saja yang diwajibkan bekerja dan menanggung nafkah keluarga.
Sementara perempuan diberi porsi tanggungjawab besar dalam mengasuh dan mendidik generasi yang berkualitas. Paradigma inilah yang akan menuntaskan kasus dilematis yang dihadapi kaum ibu saat ini. Menjalankan perannya sebagai pendidik generasi tanpa dipusingkan dengan beban berat biaya hidup.
Bahkan jika seorang ibu menjadi single parent pun, yang diwajibkan menafkahinya adalah walinya. Bukan dirinya sendiri. Adapun jika perempuan dibolehkan bekerja, bukan mengambil alih tanggungjawab kepala keluarga.
Pekerjaan yang hanya didasarkan keahlian tangan dan otaknya bukan eksploitasi fisik semata. Itupun dengan seperangkat aturan yang melindungi kemuliaan perempuan.
Kondisi ideal seperti itu hanya akan terjadi manakala negara berjalan sebagaimana syariat Islam memerintahkannya. Sebagai pelayan dan pengatur seluruh urusan umat.
Seluruh kekayaan yang ada di dalam negeri adalah milik umat. Negara hanya mengelola untuk dikembalikan hasilnya, sehingga bisa dinikmati oleh rakyat. Bukan diserahkan pada swasta apalagi dikuasai oleh asing.
Inilah pentingnya mengikuti syariat Islam sebagai aturan hidup yang terbaik dari Pencipta manusia. Sungguh kembalinya Islam sebagai sistem kehidupan, akan menjadi jawaban seluruh persoalan manusia termasuk masalah pelik yang dihadapi perempuan.
[Lm/Hw/Fa]