Menyoal Kebijakan Receh Pajak Negara

 

Oleh Shabrina Wahyuli

 

LenSaMediaNews– Usai menerapkan pajak untuk nasi bungkus pada beberapa rumah makan yang sudah dipasangi e-tax, kini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang mengawasi warung-warung pempek. Tiap pembelian paket pempek, baik makan di tempat maupun bungkus dikenakan pajak 10 persen. (Gelora.co, 07/07/2019)

Tidak cukup hanya sekedar nasi bungkus dan pempek, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan pengenaan cukai atas kantong plastik sebesar Rp200 per lembar plastik atau Rp30.000 per kilogram. Kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan cukai plastik tidak bisa diterapkan sebagai instrumen untuk menggali pendapatan negara (Bisnis.com, 07/07/2019)

Sebuah negara dipastikan membutuhkan sesuatu yang besar guna menutup kebutuhan pokoknya. Karena pemenuhan kebutuhan rakyat adalah tugas pengelolaan dari negara.

Sebuah ironi bahwasanya di negeri ini yang notabene pemilik sumber daya alam melimpah mengambil jalan receh untuk menggali pendapatan negara. Terlebih mereka menggunakan kekuasaannya guna memalak rakyat dengan dalih pajak.

Padahal selama ini rakyat sudah dibebani dengan berbagai pajak, sebut saja Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), Bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Belum lagi pajak yang diambil oleh pemerintah daerah misalkan pajak parkir, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan pedesaan/perkotaan, pajak hiburan, pajak reklame, pajak hotel, restoran dan lain lain. Banyaknya jenis pajak ini yang notabene sebagai sumber utama pendapatan negara membuktikan bahwa rakyat membiayai kebutuhan mereka sendiri.

Kepemimpinan dalam kapitalis hanya berpikir bagainana mereka bisa untung sekalipun rakyat yang harus merasakan derita. Kebijakan receh ini menjadi bukti kegagalan kepemimpinan kapitalis dalam melakukan pengolahan negara.

Karena itu butuh sebuah sistem yang baik dan kecerdasan seorang pemimpin sebuah negara untuk berpikir bagaimana pengelolaan Sumber Daya Alam yang ada guna menutup biaya kebutuhan rakyat. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dapat dipastikan berasal dari sesuatu yang terkandung di dalamnya. Indonesia memiliki SDA yang melimpah ruah dari sisi air, api, padang rumput sebagaimana yang telah di sebutkan di dalam hadis Rasul, “Telah berserikat di dalam air, api dan padang gembalaan”. (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Sebutlah sumber daya alam tersebut dari bahan tambang, misalkan minyak, batu bara, emas dan lain lain. Belum lagi kekayaan laut yang sungguh luar biasa. Nilai sumber daya dan jasa laut Indonesia mencapai US$ 2,5 triliun per tahun. Dengan luas 1,9 juta kilometer persegi, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Tak pelak, laut Nusantara yang membentang dari barat ke timur sepanjang lebih dari 5000 kilometer, memberikan kontribusi besar bagi perikanan dunia.

United Nations Development Programme (UNDP) bahkan menyebut perairan Indonesia sebagai habitat bagi 76 persen terumbu karang dan 37 persen ikan karang dunia. Seharusnya kekayaan alam ini dikelola secara maksimal oleh negara demi kepentingan rakyat. Tapi bukannya dikelola sendiri, tetapi Indonesia (baca: Pemerintah) malah memberikan pengelolaannya kepada Asing.

Islam sebagai syariah yang sempurna mengatur sumber-sumber pendapatan dimasukkan untuk “Baitul Maal”. Jika hal ini dapat dlaksanakan, sebenarnya sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka. Dalam hal ini tidak perlu lagi mewajibkan pajak baik langsung maupun tidak langsung.

Akan tetapi meskipun demikian, Syariah telah memperhatikan hingga Syariah mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan umat menjadi dua antara lain kebutuhan yang diperlukan oleh “Baitul Maal” untuk sumber-sumber pendapatan tetapnya dan kebutuhan kebutuhan yang diperlukan oleh kaum atas kaum muslimin sehingga negara diberi hak untuk mengambil harta dari mereka dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut.

Harta yang dikumpulkan ini boleh disebut sebagai pajak, boleh juga disebut sebagai harta yang diwajibkan. Adapun pajak itu seharusnya hanya boleh diambil ketika sumber-sumber pendapatan “Baitul Maal” kosong, dan hanya diberlakukan pada orang yang kaya saja.

Pengambilan pajak diberlakukan hingga pemenuhan kebutuhan usai atau sumber-sumber pendapatan “Baitul Maal” mulai terisi kembali. Selepas itu pajak tidak boleh diberlakukan. Sistem Islam ini hanya akan bisa berlaku dengan penerapan sistem Khilafah di negara ini, sehingga kebijakan pungutan pajak yang memeras rakyat tidak akan pernah ada.

 

[Lm/Hw/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis