Menyoal si Tersier
Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
LenSaMediaNews.com__Masih ingat Hiroshima dan Nagasaki? Dua kota yang luluh lantak dihempas bom atom pada Perang Dunia II. Peristiwa tersebut kemudian menandai kekalahan telak bangsa Jepang dari Sekutu yang menjadi lawannya. Saat keadaan negara telah sedemikian hancur, hal pertama yang ditanyakan Kaisar Hirohito bukan sisa tentara yang ada, melainkan seberapa banyak guru yang tersisa.
Aneh? Tentu tidak, jika paham alasannya. Dengan tentara sebuah bangsa bisa memulai perang, namun dari guru, mereka dapat belajar bagaimana memenangkan perang. Alasan sederhana tapi dalam, penuh makna. Dari sini terlihat bagaimana urgensi pendidikan di mata Kaisar, dan guru merupakan bagian di dalamnya. Kurang dari 20 tahun kemudian sampai kini, Jepang yang semula hancur dapat bangkit lebih dari sebelumnya, meski trauma akibat perang tetap tak bisa dihapuskan.
Itulah bangsa Jepang. Tak pernah ragu dan galau menetapkan pendidikan sebagai kebutuhan vital yang berdampak besar pada pembentukan generasi sebagai aset bangsa. Jika baru-baru ini seorang pejabat tinggi di lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melontar pernyataan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier alias mewah (cnnindonesia, 21/5/2024), entah apa tanggapan sang Kaisar. Bingung dan tak habis pikir? Mungkin saja.
Tapi tahukah Anda, berabad sebelum lahir kebijakan Kaisar negerinya Naruto seperti tersebut di atas, Islam telah menetapkan urgennya ilmu dan pendidikan melalui lisan Rasulullah saw. Bahkan terdapat satu hal pada Islam yang tidak dimiliki negeri matahari terbit, yaitu landasan iman kepada Allah Swt., Sang Maha Pencipta.
Baginda Nabi saw. pernah bersabda:
“Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)
“Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Jelas tampak aktivitas menuntut ilmu dalam Islam dipandang sebagai ibadah. Salah satu jalan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. Siapa saja yang menapaki jalan dalam mencari ilmu, maka balasannya seperti yang dijanjikan Allah berupa Ridho dan jannah-Nya.
Allah berfirman dalam penggalan surah Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya:
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Hanya saja, instrumen terpenting yang harus tegak guna menjamin terlaksananya ibadah tersebut sudah tentu adalah negara. Dalam Islam, negara di bawah pimpinan seorang Khalifah wajib mengurusi urusan rakyat dalam segala aspek kehidupan. Pastinya mengurus berdasarkan syariat secara menyeluruh, tanpa kecuali.
Dimulai dari politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan masih banyak lagi. Semuanya diatur sesuai aturan Allah Swt., yang Rasulullah diutus dengannya. Para khalifah dari masa ke masa selalu menjaga hal tersebut sebab mereka meyakini kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hari kemudian, atas apa yang menjadi amanahnya di dunia. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Wajar bila tertuang dalam sejarah, peradaban emas yang hadir selama dunia berada dalam naungan Islam kafah. Will Durant dalam bukunya, The Story of Civilization, menuliskan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa.”
Sayang, sungguh amat disayangkan Islam kemudian terganti dengan sekularisme, paham Barat yang memisahkan Islam yang kafah dari kehidupan. Tersisa syariah yang mengatur urusan individu saja seperti salat, puasa Ramadan, zakat dan haji. Meninggalkan aturan muamalah, ekonomi, politik dan sosial jauh di belakang.
Jadilah kemunduran umat setapak demi setapak dari masa cemerlangnya. Begitu mundurnya sampai pemahaman akan wajibnya setiap orang belajar dan menuntut ilmu yang seharusnya difasilitasi negara, justru bergeser jadi tersier. Khususnya bagi pendidikan tinggi.
Tiada jalan lain, bila ingin kembali sebagai yang terbaik dalam naungan peradaban cemerlang, lebih dari yang lalu, maka kembalikan Islam yang kafah dalam dekapan umat. Mari memulai memahami Islam yang menjadi konsekuensi iman, lalu menerapkannya secara menyeluruh tanpa nanti tanpa tapi. Niscaya berkah menghampiri dari Yang Maha Menepati Janji.
Wallahua’lam. [LM/Ss]