Sampah Impor di Negeri yang “Doyan” Impor
Oleh: Susanti Widhi Astuti, S.Pd
(Guru dan Pemerhati Masyarakat)
LensaMediaNews- Indonesia adalah negeri yang sering di juluki sebagai Zamrud Khatulistiwa, negeri yang memiliki daya tarik luar biasa karena faktor keindahan alam, sumber daya mineral dan luas wilayahnya. Bahkan tak jarang para wisatawan dari luar negeri menjuluki Indonesia adalah surga dengan berbagai macam pesona. Namun, yang sangat di sayangkan ketika berbicara Indonesia hari ini tidak luput dengan masalah politik dan ekonomi yang tengah di hadapi negeri ini.
Negeri ini seolah tak berdaya dalam menghadapi tekanan berbagai pihak, seolah tak memiliki kemandirian dalam tata kelola politik serta ekonominya. Lihat saja negeri yang indah ini pada akhir maret lalu kedatangan lima kontainer sampah impor bermasalah yang dikirim dari Seattle Amerika Serikat ke Surabaya, Jawa Timur. Dan pertengahan Juni pemerintah Indonesia sudah mengembalikan lima kontainer sampah tersebut ke Amerika Serikat, bahkan kontainer sampah juga ditemukan di Batam, Kepulauan Riau. (Kumparan, 17/6/2019).
Dengan melihat fenomena impor sampah hari ini yang dikirim ke Indonesia sungguh sangat melukai perasaan masyarakat Indonesia, dimana pemerintah negeri ini sangat semangat untuk mengkampanyekan “go green” agar menghemat penggunaan plastik dan memilah-milah sampah organik dan anorganik agar bisa dikelola kembali sesuai program pemerintah agar tidak merusak lingkungan. Namun fenomena masuknya lima kontainer sampah sungguh membohongi masyarakat yang berupaya keras agar tidak menggunakan sampah plastik.
Demi kepentingan ekonomi kapitalisnya memang sesuatu yang wajar jika hari ini standar ekonominya di topang oleh impor, sekalipun itu sampah dari luar negeri yang harus di kirim ke negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa negeri ini tak punya kemandirian politik dan ekonomi.
Sudah sejatinya, negeri ini melepaskan asas politik dan ekonomi serta dalam segala bidang hari ini, tak lagi merujuk kepada kapitalisme-liberal. Karena hanya kepentingan sang pemilik modal-lah keputusan itu akan ditetapkan dan dijalankan. Demokrasi sejatinya yang lahir dari sistem ini juga tak mampu memuaskan bahkan tak berpihak kepada rakyat. Akhirnya kerusakan dalam berbagai bidanglah yang di rasakan rakyat negeri ini.
Jauh sebelum impor plastik, negeri ini begitu “doyan” dengan impor-impor yang lain. Seperti yang sering kita lihat dan dengar dari media massa dan elektronik, kurun waktu lima tahun terakhir saja negeri ini mengimpor sesuatu yang bisa kita dapatkan di negeri sendiri, misalnya: gula, garam, beras, kedelai, bahkan cangkul juga di impor.
Wajar jika, hari ini impian rakyat Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajahan sangat sulit untuk diwujudkan. Rakyat sudah lelah menjadi korban kebohongan pemimpinnya bahkan sistemnya hari ini, karena yang merasakan nyaman hidup dalam belenggu kebijakan kapitalisme-liberal hanya “orang-orang” yang menjadi kaki tangan penjajah. Bahkan yang lebih parahnya lagi para penjajah terus memaksakan sistem kapitalisme-liberal agar tetap “eksis” di negeri ini. Padahal rakyat sudah tidak nyaman dengan sistem ini namun karena demi “tuannya” akhirnya di paksakan terus menerus.
Hanya Islam solusi satu-satunya pemutus mata rantai keruwetan sistem dzholim hari ini. Islam hadir di tengah umat bukan untuk memaksakan kehendaknya, tapi memberikan pemahaman dengan arah keimanan. Maka siapapun yang hidup dalam sistem Islam pasti akan merasakan kenyamanan dan kesejahteraannya.
Islam hadir dalam sebuah negara adidaya yaitu Khilafah Rasyidah yang akan hidup mandiri tanpa tekanan sang pemilik modal tapi berlandaskan kepada tuntunan sang khalik. Dalam islam tidak akan di kenal sistem ekonomi yang ditopang oleh impor tapi landasan sistem ekonominya adalah kemandirian Islam, yang artinya untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya harus mengelola secara mandiri sumber daya dalam negerinya secara tepat guna sesuai kebutuhan.
Kepemilikan juga diatur sesuai tuntunan syari’ah yang artinya di kelompokkan mana yang menjadi kepemilikan pribadi, kepemilikan umat, kepemilikan negara. Maka nantinya juga tidak akan kita jumpai kerjasama bilateral ataupun multilateral. Karena kerjasama seperti ini rentan membuat Khilafah bisa disusupi dengan kepentingan asing.
Maka arah kebijakan politik dan ekonominya akan sejalan, yang artinya ketika memandang negara di luar Islam hanya ada 2 yaitu: negara kafir harbi fi’llan (negara yang secara terang-terangan memusuhi islam) dan negara kafir mu’ahad (negara yang terlibat perjanjian di batas teritorial negara khilafah). Semoga kita bisa mewujudkan kembali hadirnya Khilafah Rasyidah yang menjadi kerinduan bersama seluruh umat islam yang faham akan urgensi terwujudnya kembali karena tuntunan keimanan.
Wallahu’alam bi a’ shawab.
[LS/Ry]