Neraca Perdagangan Surplus, Pepesan Kosong Kapitalis
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Lensa Media News–Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menyebut, neraca perdagangan RI berhasil mencatatkan surplus pada Januari 2024 sebesar 2,02 miliar dolar AS. Dengan hasil tersebut, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 45 bulan berturut-turut (Republika.co.id, 26/2/2024).
“Untuk diketahui per hari ini, sekarang Februari 2024, negara kita itu baru saja meraih surplus neraca perdagangan sebesar 2,02 miliar dolar AS. Artinya apa? Surplus itu ekspor kita lebih besar daripada impor, nilainya. Nilai surplus ini bukan hanya bulan Januari, surplus kita itu sudah 45 bulan berturut-turut,” ujar Jerry dalam sambutannya di acara Penganugerahan Good Design Indonesia 2023 di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (26/2/2024).
Jerry menyebut, neraca perdagangan RI selalu surplus sejak Mei 2020. Pada akhir 2023 lalu surplus neraca perdagangan di angka 36,93 miliar dolar AS. Hal itu menurutnya berkat kontribusi produk lokal maupun nasional yang terus meningkatkan ekspor. Sehingga nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan impor. Ditambah pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dan inflasi stabil di bawah 4 persen.
Pemerintah mengklaim nilai ekspor surplus daripada impor, semua berkat kontribusi produk lokal maupun nasional. Yang dimaksud produk lokal atau nasional adalah produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh usaha mikro dan kecil di daerah baik secara perorangan, berkelompok maupun badan usaha. Dan kita biasanya mengenal dengan nama UMKM.
Jadi, surplus negara perdagangan karena kontribusi barang lokal dan nasional itu adalah produk dan jasa yang dihasilkan UMKM, oleh karena itu negara mendapatkan peningkatan devisa. Memang peran UMKM dianggap sangat penting bagi perekonomian Indonesia, yaitu memberi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar lebih dari 60% atau sekitar Rp8.573 Triliun setiap tahunnya. Selain itu, UMKM juga 97% total tenaga kerja Indonesia atau 116 juta orang (ukmindonesia.id, 8/7/2023).
Dilansir dari Kompas, Kementerian Koperasi dan UMKM juga akan menargetkan setidaknya ada 10 Juta unit UMKM yang teregistrasi dalam sistem OSS di akhir tahun 2023. Fakta ini semakin membuktikan betapa rapuhnya perekonomian negara kita, karena tulang punggungnya ada pada UMKM yang hanya memproduksi sandang, pangan, barang kerajinan yang mana samasekali tidak strategis.
Logikanya jika sudah surplus ekspor, negara dalam keadaan stabil dari sisi semua kebutuhan pokok dalam negeri. Apa lacur? Angka stunting dan kemiskinan ektrem sudah bak fenomena gunung es, semakin kesini datanya kian menjulang. Dengan kata lain kesejahteraan masih belum merata dinikmati rakyat Indonesia. Lantas apa pengaruh surplusnya neraca perdagangan bagi bangsa ini?
Tak lain hanyalah pepesan kosong kapitalisme yang sejatinya tak akan pernah mewujudkan kesejahteraan hakiki. Surplus hanya berakhir di angka, apa gunanya? Kapitalisme ilusi! Tak nyata bahkan batil sebab pengurusan urusan rakyat tidak dalam jaminan negara. Faktor-faktor strategis yang harusnya dikuasai dan dikelola oleh negara seperti Sumber Daya Alam (SDA) telah menjadi barang transaksi antara penguasa dengan pengusaha. Ini adalah konsekwensi yang harus diterima rakyat Indonesia karena pemimpin dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator kebijakan. Dan pelaku ekonomi sebenarnya adalah para investor asing maupun lokal.
Mirisnya keculasan dan ketamakan para pemilik modal kelas kakap ini telah menguasai seluruh sendi kehidupan masyarakat. Dari mulai kebijakan politik pemerintahan hingga urusan perut rakyat. Masihkah berharap pada demokrasi yang senyatanya hanya menghasilkan pemimpin bermental pengusaha?
Aturan Islam Lebih Terpercaya
Islam sebagai agama yang sempurna, memiliki aturan perdagangan luar negeri, dimana negara akan melakukan hanya dengan negara kafir harbi muahid ( yang terikat perjanjian damai) bukan dengan kafir harbi fi’lan, yang jelas-jelas memusuhi Islam seperti Amerika, Israel, Perancis, Inggris dan lainnya. Hubungan dengan mereka hanyalah perang.
Terkait komoditas juga diperhatikan bukan yang memperlemah negara sendiri karena ketersediannya yang langka. Tapi lebih kepada menstabilkan keadaan dalam negeri terlebih dahulu kemudian boleh melakukan impor. Sebab ketahanan dalam negeri lebih penting, sebagaimana fungsi pemimpin dalam Islam yaitu pengurus urusan rakyat (ra’in).
Negara tidak akan memuluskan para pedagang yang hanya ingin mengambil keuntungan sendiri, apalagi dari rakyat yang semestinya mereka urus. Hari ini kita sudah lihat bagaimana dampaknya ketika stok beras di dalam negeri mencukupi tapi pemerintah ngotot impor beras dengan alibi menstabilkan harga, jelas hanya tipu-tipu karena MOU untuk pembelian beras itu sudah ditandatangani.
Maka dalam pandangan Islam kesejahteraan bukan soal ekspor surplus, namun seberapa mudahnya rakyat mampu mengakses kebutuhan pokok mereka. Sebab, apa-apa yang menjadi kebutuhan pokok mereka Allah telah menyediakan seperangkat aturan cara pengelolaannya. Seharusnya pemimpin hari ini bermuhasabah, mengapa harus tunduk kepada aturan kapitalis sementara dirinya muslim?
Rasulullah Saw bersabda,”Sungguh manusia yang paling Allah cintai pada Hari Kiamat kelak dan paling dekat kedudukannya dengan Dia adalah seorang pemimpin yang adil. Sungguh manusia yang paling Allah benci dan paling keras mendapatkan azab-Nya adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR at-Tirmidzi). Wallahualam bissawab. [LM/ry].