ODGJ Terdaftar di DPT, Kok Bisa?

Oleh: Nina Marlina, A.Md
Aktivis Muslimah

 

LenSa MediaNews__Ada-ada saja dagelan di negeri ini. Banyak hal lucu dan aneh yang kerap dipertontonkan penguasa. Salah satunya wacana terkait Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) sehingga mereka berkesempatan untuk mengikuti Pemilu. Sontak saja, kebijakan ini menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.

 

 

Sebagaimana dikutip dari laman Kilat.com, 25/12/2023 KPU Indonesia mengatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dapat ikut berpartisipasi dalam pemilu 2024. Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi DKI Jakarta Astri Megatari menyebutkan bahwa pihaknya akan memfasilitasi disabilitas mental buat memilih karena terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Adapun syarat dan ketentuan untuk ODGJ melakukan pemilihan adalah menyertakan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa pemilih tersebut dalam kondisi sehat saat hari pemungutan suara. ODGJ bisa memilih tergantung dari pihak dokter yang mendampingi. Jika dokter yang menangani bahwa ODGJ bisa menggunakan hak pilih, maka bisa dilayani di TPS.

 

 

Sementara itu dikutip dari laman Medcom.id, 26/12/2023 Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi Jawa Barat Hedi Ardia menyebut sekitar 32.712 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di daerah itu akan ikut memberikan suara pada Pemilu 2024. Menurutnya, bukan ODGJ tetapi penyandang disabilitas mental. Mereka terdata, ada di rumah dan secara medis berdasarkan keterangan dokter, bisa menentukan pilihan.

 

 

ODGJ Ikut Pemilu, Kebijakan Tidak Waras
Kebijakan ODGJ dapat ikut serta dalam pemilu tentu adalah suatu hal yang tak wajar. Namun, banyaknya jumlah ODGJ saat ini rupanya dilirik para kandidat penguasa untuk dapat menambah jumlah suara. Mengingat jumlah golput setiap gelaran pemilu selalu ada dan angkanya terus naik. Adapun yang menjadi alasan keterlibatan ODGJ dalam pemilu yaitu bahwa setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih. Selain itu, landasan hukumnya yaitu sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No.135/PUU-XIII/2015 tentang pemberian hak pilih bagi ODGJ.

 

 

Memang hal ini bukanlah yang pertama kali, pasalnya pada tahun 2019 penyandang disabilitas mental telah turut ambil bagian dalam proses pemilu karena dinilai memiliki hak pilih. Sungguh aneh dan lucu menjadikan ODGJ sebagai peserta pemilu meski atas nama hak politik setiap warga negara. Kebijakan ini jelas tidak waras karena bagaimana bisa seorang yang sakit jiwa mampu menyalurkan aspirasinya dalam Pemilu dan menentukan pilihannya sendiri. Sebagaimana ledekan dan sindiran dalam cuitan netizen di dunia maya; “Mengurus diri sendiri saja susah, apalagi mengerti untuk memilih pemimpin”. Selain itu, ada yang mengatakan kesempatan ODGJ dalam memilih berpeluang disalahgunakan oleh para petugas TPS. Saat dibutuhkan, orang sakit jiwa pun didata.

 

 

Ironinya selama ini ada standar ganda terkait perlakuan kepada ODGJ. Dalam kasus kriminalisasi ulama, pelaku kekerasan dan pembunuhan terhadap ulama dianggap orang gila sehingga bebas dari sanksi. Namun ketika pemilu, tiba-tiba ODGJ diambil suaranya demi kepentingan menambah jumlah suara.

 

 

Ini membuktikan begitu rendahnya sistem demokrasi, keputusan mudah dibuat dan diubah sesuai kepentingan. Tak peduli melanggar syari’at, bahkan tak masuk logika sekalipun. Begitulah aturan dibuat dengan menghalalkan segala cara demi memuluskan kepentingan.

 

 

Pandangan Islam terhadap ODGJ

ODGJ dalam Islam diakui sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, namun mereka tidak mendapatkan beban amanah. Dalam hal ini, orang gila tidak dikenai taklif hukum termasuk kewajiban memilih seorang pemimpin. Maka, ia tidak berdosa saat meninggalkan kewajiban atau hukum syarak.

 

 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi saw. bersabda, “Pena (catatan amal) diangkat dari tiga jenis orang, orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia balig, dan orang gila sampai dia sembuh dari gilanya”.

 

 

Islam memfungsikan akal sebagaimana tujuan akal diciptakan oleh Allah. Berakal merupakan salah satu syarat dari berbagai syarat sah dalam beribadah. Ketika seseorang berakal, maka ia akan mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan sehingga mampu menjalankan hukum syarak.

 

 

Adapun dalam hal pemilihan pemimpin, Islam memiliki mekanisme pemilihan pejabat dan wakil umat dengan cara yang sederhana dan masuk akal. Semua itu adalah demi menegakkan aturan Allah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

 

 

Dalam pemilihan seorang pemimpin atau kepala negara, Islam memberikan beberapa prosedur praktis sebelum dibaiat. Diantaranya pemilihan oleh Ahlul halli wal aqdi (tokoh umat) atau pemilihan langsung oleh rakyat. Dalam proses pemilihan ini tentu harus dilakukan oleh orang-orang yang berakal sehat yang mampu menentukan pilihan terbaik menurut mereka. Sementara dalam pengangkatan para pejabat tingkat daerah akan ditunjuk langsung oleh khalifah (kepala negara) sehingga akan dilakukan secara efektif dan efisien.

 

Demikianlah pandangan Islam dalam hal ini. Islam tak akan membebani orang sakit jiwa dengan beban hukum termasuk dalam pemilihan pemimpin. Saatnya kita tinggalkan sistem demokrasi yang rusak dan yang melahirkan kebijakan tidak waras.
Wallahu a’lam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis