Desa Wisata, Kesejahteraan untuk Siapa?
Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
Lensa Media News – Saat ini, desa dilirik mampu memberikan kontribusi besar dalam pembangunan nasional. Desa memiliki potensi sumber daya alam yang memberikan kesan natural dan dapat dijadikan sebuah destinasi wisata. Seperti yang tren dengan istilah desa wisata.
Desa wisata merupakan sebuah konsep pengembangan daerah yang berfokus terhadap pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha produktif sesuai potensi dan sumber daya lokal. Berdasarkan catatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dari 80.000 lebih desa di tanah air sekitar 7.500 desa dinilai memiliki potensi di sektor wisata. Namun, pada tahun 2024 Kemenparekraf berencana membentuk 6.000 desa wisata. Program ini diharapkan mampu menyumbang 4,5% pendapatan domestik bruto (PDB) nasional (detikNews, 22/2/2024)
Namun, benarkah program desa wisata ini dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat? Siapakah sebenarnya yang sejahtera? Rakyat atau pengusaha? Jika melihat tujuan dari program ini justru dibuat untuk menyumbang pembangunan nasional. Sementara pembangunan nasional yang nampak hari ini tidak dirasakan dampaknya oleh rakyat. Seperti halnya pembangunan infrastruktur jalan tol dan proyek desa wisata lainnya yang justru hasilnya tidak dirasakan rakyat.
Apabila kita telaah lebih dalam, proyek desa wisata tersebut akan memberikan dampak dalam bidang sosial. Secara tidak langsung, para wisatawan yang datang akan memberikan sumbangsih kerusakan. Adanya budaya asing yang masuk akan membuat perilaku masyarakat rusak, seperti budaya pacaran, seks bebas, minuman keras, dan cara berpakaian.
Selain itu, keberadaan desa wisata atas dasar kerjasama pemerintah dengan para investor. Pemerintah juga memberikan kebebasan mengelola tanpa adanya rambu tertentu. Pada sistem kapitalisme hari ini, jelas tidak ada makan siang gratis. Saat investor memberikan dana pelumas pariwisata, pasti juga tidak memberikan cuma-cuma. Ada keuntungan yang mereka inginkan. Materi menjadi orientasi mereka dalam melakukan kerjasama. Apalagi kalau bantuan bukan sekedar bantuan, melainkan pinjaman, jelas mengisyaratkan beban utang negara bertambah.
Pinjaman atau utang menjadi jebakan dan cara untuk mengikat suatu negara agar tunduk pada permainan para pengusaha. Semakin besar hutangnya, negara semakin tidak memiliki kedaulatan. Mereka dipaksa mengikuti keinginan yang pengusaha inginkan.
Hal ini menunjukkan dengan jelas keberpihakan pemerintah kepada pengusaha dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada. Slogan kesejahteraan rakyat melalui proyek desa wisata tampaknya hanya ilusi. Faktanya, pengusaha lah yang semakin sejahtera dengan mengambil keuntungan dari proyek tersebut. Rakyat hanya mendapat imbas dari pengadaannya dan dampak buruk dari para wisatawan.
Berbeda halnya dalam Islam. Islam memberikan rambu-rambu sesuai syariat. Islam memiliki pandangan khusus tentang pariwisata. Islam memandang bahwa wisata kaum muslim adalah bentuk upaya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah taala. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw.,
“Sesungguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam Takhrij Ihya Ulumuddin no. 2641).
Tujuan lain dari wisata adalah untuk tadabur alam, yaitu melihat keagungan dan kebesaran Allah sehingga semakin percaya dan yakin akan keberadaan-Nya. Akan semakin terpancar keimanan yang kuat. Alhasil, Islam tidak akan menarget wisata sebagai sumber utama pemasukan bagi negara. Islam juga tidak akan membiarkan desa-desa mewujudkan desa wisata hanya demi kepentingan ekonomi atau melestarikan budaya yang justru bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam juga memiliki konsep dan prinsip kepemilikan. Islam menetapkan tidak semua sumber daya alam dapat dimiliki secara privat, baik individu maupun asing. Kepemilikannya adalah milik seluruh rakyat dan negara yang mengelolanya untuk kebermanfaatannya bagi umat.
Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram.” Abu Said berkata, “Maksudnya air yang mengalir.” (HR Ibnu Majah).
Khalifah juga akan memutuskan kerjasama dengan lembaga atau negara yang memusuhi Islam atau ingin menguasai umat Islam. Sehingga kedaulatan negara akan tetap terjaga.
Dengan demikian, negara tidak akan menjadikan sektor pariwisata sebagai kepentingan ekonomi dan bisnis. Pariwisata dijadikan sebagai sarana dakwah dan bentuk ketaatan kepada Allah taala. Hal ini dapat terwujud apabila sistem Islam ditegakkan dalam bingkai daulah Islamiyah.
Wallahu’alam
[LM/nr]