Fenomena Tarif Maskapai, Antara Bisnis dan Solusi
Oleh : Punky Purboyowati S. S
(Pegiat Pena, Muslimah El Mahira Jombang)
LensaMediaNews- Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan akan membuka pintu bagi maskapai asing yang ingin membuka rute penerbangan di tanah air. Hal itu guna memperkaya persaingan untuk menurunkan harga tiket pesawat maskapai domestik. Namun pengamat penerbangan sekaligus mantan KSAU Chappy Hakim menyebutkan, mengundang maskapai asing bukanlah sebuah solusi yang tepat. Bahkan, hal itu dapat mengganggu kepentingan nasional terutama di sektor perhubungan udara. Maskapai asing yang beroperasi di Tanah Air sendiri terdiri dari dua jenis yaitu format investasi dan saham mayoritas atau cabotage. Dia menekankan, jangan sampai nantinya maskapai asing mengeruk keuntungan dari dalam negeri. Terutama Indonesia merupakan ladang bisnis yang cukup basah bagi dunia penerbangan, sebab, merupakan negara kepulauan yang otomatis akan sangat bergantung pada koneksi udara. (m.merdeka.com/15/6/19).
Namun kala itu masih dalam wacana. Setelah polemik yang demikian panjang, kini akhirnya pemerintah lewat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perhubungan resmi memutuskan untuk menurunkan harga tiket pesawat pada maskapai low cost carrier (LCC atau penerbangan murah) domestik. Penurunan harga tiket berlaku bagi penerbangan pada jam tertentu dan tidak berlaku secara menyeluruh. (m.detik.com/21/6/19).
Namun, tarif pesawat turun bukan berarti telah selesai masalahnya. Sebab masalahnya bukan pada naik dan turunnya tarif. Namun lebih dari itu , yaitu berkenaan dengan sistem pengelolaan layanan publik. Sebab, masih banyak ditemui pada maskapai non LCC seperti tarif tiket Garuda Indonesia yang masih mahal. Mahalnya tarif oleh sebab tertentu. Yaitu adanya sistem kartel di dunia penerbangan. Garuda Indonesia didenda oleh Mahkamah Federal Australia sebab dinyatakan terlibat dalam kartel penetapan tarif. Hal ini disampaikan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Australia. Garuda Indonesia didenda sebesar 19 juta dolar Australia setara Rp 189 miliar (asumsi kurs Rp 9.948 per dolar Australia atau US$ 13,2 juta). Selain Garuda Indonesia, ada maskapai lain berjumlah 14 maskapai yang didenda pengadilan Australia, seperti Air New Zealand, Qantas, Singapore Airlines, dan Cathay Pacific. Totalnya mencapai 130 juta dolar Australia. “Price fixing adalah hal yang serius karena itu mengurangi kompetisi di pasar dengan tidak adil. Dan kartel ini adalah salah satu contoh terburuk yang pernah kita lihat,” ujar Kepala Australian Competition and Consumer Commission, Rod Sims dilansir Channelnews Australia. (m.detik.com/1/6/19).
Hal ini wajar sebab selama menggunakan konsep sekuler kapitalis, selama itu pula pengelolaan transportasi dikuasai kapital. Padahal transportasi bukan sekedar masalah teknik namun juga masalah sistemik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena adanya paradigma yang salah dalam mengelola transportasi. Yaitu paham Sekulerisme yang mengesampingkan aturan agama untuk mengatur kehidupan, melahirkan kehidupan yang serba Kapitalis. Seperti transportasi yang dikelola perusahaan atau swasta, pengelolaannya berfungsi sebagai bisnis bukan fungsi pelayanan. Layanan transportasi diserahkan pada swasta mengakibatkan harga tiket menjadi mahal. Disinilah tampak buruknya pelayanan negara, bukan solusi yang diberikan justru bisnis yang menguntungkan bagi Kapital. Bila negara membiarkan ini terjadi, maka sama dengan membuka celah bagi penjajahan asing masuk melalui sektor layanan publik yang dilakukan oleh korporasi asing.
Berbeda dengan konsep Islam dalam mengatur sektor publik. Dalam sistem Islam (Khilafah), memenuhi hak rakyat termasuk sarana dan prasarana transportasi merupakan tanggungjawab negara. Namun demikian dibutuhkan pelayanan transportasi publik yang aman, nyaman serta memudahkan rakyat. Apalagi dalam musim mudik seperti lebaran. Maka negara akan meminimalisir apa-apa yang menghambat kebutuhan rakyatnya. Sebagaimana yang dicontohkan Umar bin al-Khaththab ra. Ketika beliau menjadi kepala negara. Terkait dengan masalah transportasi ia berujar, “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti”.
Dengan demikian, masalah layanan publik menyangkut masalah ri’ayah (kepengurusan) negara. Layanan publik tidak boleh diserahkan pada individu atau swasta. Sebab menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam pengelolaan layanan publik, pembiayaannya hanya diperoleh dari pemasukan negara yaitu hasil dari sumber kekayaan alam seperti air, tambang, minyak bumi, dan sebagainya. Sehingga layanan publik terpenuhi secara merata bahkan gratis dan mampu diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan terlebih dalam konteks saat ini. Saatnya penguasa negeri ini bercermin pada sistem Islam yang mampu memberi layanan publik secara aman, nyaman, gratis dan memudahkan.
Wallahu a’lam bisshowab
[LS/Ry]