Evaluasi Sistemis Transportasi Udara

Oleh: Arin RM, S. Si
(Freelance Author, Pegiat TSC)

 

LensaMediaNews- Benang kusut seputar harga tiket pesawat nampaknya belum terurai. Salah satu buktinya, pada lebaran lalu, tiket pesawat mahal jadi indikasi utama pemudik di sektor transportasi udara turun sampai 1.327.443 orang atau turun 27,37 persen dibandingkan tahun sebelumnya (tirto.id, 14/06/2019). Hal ini menunjukkan bahwa regulasi terkait tarif pesawat pada Maret 2019 (yakni Peraturan Menteri Perhubungan No. 20/2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan No. 72/2019), belum sepenuhnya berhasil menurunkan harga.

Padahal pesawat terbang dipandang sebagai alat transportasi umum yang paling efektif untuk “melipat jarak” dibandingkan dengan jenis transportasi umum lain. Terlebih lagi bagi wilayah seperti Indonesia yang terdiri dari banyak pulau. Moda transportasi udara merupakan sarana yang efektif. Sayangnya, efektifitas ini kalah dengan harga tinggi. Sehingga mobilisasi domestik terpaksa berkurang.

Disamping mengurangi pengguna jasa penerbangan domestik, efek melambungnya harga tiket telah menyentuh dan memengaruhi geliat bisnis masyarakat. Di antaranya bisnis kurir, pariwisata, perhotelan, agen travel dan juga termasuk kerugian padi. Omset maskapai yang turut menurun seiring tiadanya penumpang pesawat. Ancaman terakhir ini justru menyedihkan. Terlebih ketika maskapai asing diwacanakan santer akan membuka rute domestik di Indonesia. Akankah undangan maskapai asing masuk ke dalam negeri ini mampu menurunkan harga tiket?

Disinilah yang perlu dikritisi. Hadirnya swasta dalam pelayanan transportasi udara bukanlah solusi bagi polemik transportasi. Kebutuhan rakyat yang sangat penting harus menyesuaikan dengan penawaran penyedia jasa swasta. Keberadaan negara seolah hanya sebagai regulator. Memfasilitasi pertemuan pasar antara penumpang dan penyedia layanan penerbangan semata.

Negara tidak dapat menyediakan layanan transportasi udara secara mandiri. Semuanya karena faktor pendanaan. Kapitalisme menyebabkan  negara bangkrut, karena semua sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak pengelolaannya diserahkan pada para kapitalis pemilik modal. Sementara pemasukan negara mengandalkan sektor pajak, yang pembelanjaanya harus dibagi dengan kebutuhan negara lainnya.

Berbeda dengan Islam, yang memandang transportasi publik sebagai tanggung jawab negara sebagai pelayan urusan rakyat. Nabi bersabda: “Imam yang menjadi pemimpin manusia laksana pengembala, hanya dialah yang bertangungjawab terhadap urusan rakyatnya”, (HR. Bukhari). Mindset pertanggungjawaban ini akan menjadikan negara bersungguh-sungguh menyediakan layanan transportasi yang bisa diakses dengan mudah oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Tak bisa dikomersilkan, sebab keberadaannya adalah hajat dasar bagi rakyat. Sehingga tidak dibenarkan menjadikan jalan transportasi sebagai sumber pemasukan.

Peran utama negara ini juga akan menjadikan negara mencegah swasta berlebihan bermain di dalamnya, apalagi sampai menguasainya. Rasul bersabda: “Siapa saja yang mengambil satu jengkal saja dari jalan kaum muslimin, maka pada hari kiamat kelak Allah akan membebaninya dengan beban seberat tujuh lapis bumi.” (HR. Imam Thabrani). Sehingga negara akan mengambil alih pelayanan publik dengan mengerahkan pendanaan dari pengelolaan kekayaan milik umum ataupun pengelolaan SDA secara mandiri. Tiket murah bahkan gratis bukan lagi isapan jempol, sebab pelayanan publik tak lagi melihat untung rugi.

Teknologi terkait transportasi yang menyangkut baiknya kualitas pelayanan akan dikembangkan. Agar rakyat bisa mendapatkan pelayanan terbaik, manusiawi, dan tidak mengancam nyawa dengan konsep pelayanan yang sederhana, cepat, dan profesional. Keseluruhan sistem pelayanan transportasi terbaik ini hanya mampu diwujudkan tatkala aturan Allah menggantikan aturan kapitalisme. Sebab kesatuan sistem tranportasi perlu mendapat support dana dari sistem ekomomi, dukungan kebijakan dari aspek politis, dan sistem Islam lainnya. Kebijakan pro rakyat dan dukungan sistemik inilah yang saat ini nihil.

Oleh karena itu, evaluasi terhadap sistem transportasi udara perlu dimulai dengan evaluasi terhadap sistem yang digunakan untuk mengelola negara terlebih dahulu. Sebab kepala konsep inilah yang akan memengaruhi penyelenggaraan setiap cabang pelayanan rakyat lainnya. Dan konsep Islam telah terbukti baiknya, termasuk dalam konsep transportasi.

Wallahu a’ lam biashowab

 

[LS/Ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis