Bacaleg Bekas Napi Korupsi, Beginikah Visi Sistem Demokrasi?


Oleh: Yulweri Vovi Safitria

 

 

Menduduki tampuk pemerintahan baik legislatif ataupun yudikatif sesuatu hal yang membanggakan bagi sebagian orang. Sebuah kehormatan ketika memiliki jabatan dengan gaji yang wah, rumah dan fasilitas yang mewah. Belum lagi berbagai peluang lainnya yang bisa mendulang rupiah.

 

 

Bahkan untuk menjadi bacaleg yang katanya wakil rakyat, tidak lagi menjadikan akhlak dan moral sebagai standar. Hal ini terlihat dari adanya mantan napi korupsi yang menjadi bacaleg untuk Pemilu 2024 mendatang sebagaimana yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), yakni 12 mantan terpidana korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) Bacaleg yang diumumkan oleh KPU pada 19 Agustus lalu. Mereka mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Ironinya, KPU tidak mengumumkan status para napi tersebut, seolah-olah KPU menutup mata dari persoalan yang menjerat mereka (VOA Indonesia, 26-8-2023).

 

 

Lain halnya dengan Pemilu 2019 lalu, KPU mengumumkan daftar caleg yang pernah terlibat korupsi berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) 20/2018, yakni melarang mantan koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu. Namun, PKPU tersebut digugat oleh sebagian mantan napi koruptor dan akhirnya dibatalkan oleh MA berdasarkan putusan Nomor 30 P/HUM/2018 yang menilai larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu (CNN Indonesia, 24-8-2023).

 

 

Pertanyaannya, tidak adakah SDM yang lebih kompeten sehingga mantan napi masih diberi peluang untuk menduduki kursi legislatif?

 

 

Ilusi Perubahan dalam Demokrasi

 

Pesta demokrasi lima tahun sekali menjadi hajatan nasional yang selalu dinanti. Pemimpin hasil dari pemilihan pesta lima tahunan itu pun terus berganti. Namun, perubahan yang selalu digaungkan tidak kunjung dinikmati oleh masyarakat. Janji-janji untuk menciptakan hidup lebih baik seolah sebuah ilusi guna memenangkan hati rakyat.

 

 

Jika melihat fakta bahwa mantan napi korupsi masuk bursa bacaleg seolah menunjukkan ke publik bahwa parpol yang dianggap sebagai perpanjangan tangan rakyat tidak betul-betul membela kepentingan rakyat. Ya, bagaimana mungkin orang yang pernah korupsi saat duduk di pemerintahan lalu dipilih kembali untuk menduduki kursi yang sama?

 

 

Alhasil, rakyat terjebak pada sistem yang rusak dan merusak, tetapi sebagian orang selalu berupaya menutupi fakta yang ada dan berharap kebaikan ketika ikut terjun di dalamnya. Kredo “vox populi vox dei” nyatanya hanya sebatas slogan dalam kancah demokrasi.

 

 

Narasi indah terkait pemberantasan korupsi yang sering digaungkan dan menjadi janji para pentinggi negeri seolah tinggal janji. Mantan napi korupsi bukan hanya mendapatkan remisi, tetapi mereka juga diberi peluang untuk berkuasa kembali. Bagaimana mungkin bisa memberantas korupsi sementara mereka yang duduk di sana adalah mantan napi yang jelas-jelas telah mengambil uang rakyat?

 

 

Hal tersebut bukan sesuatu yang aneh dalam sistem demokrasi karena aturan dalam sistem ini dibuat berdasarkan akal manusia, bukan bersumber dari Penciptanya. Maka, wajar pula jika aturan tersebut sesuai dengan kepentingan tertentu untuk memenuhi nafsu duniawi.

 

 

Tegakkan Sistem Islam

 

Tentu berbeda dengan sistem Islam yang aturannya adalah wahyu dari Allah Swt.. Pemimpin dalam Islam bekerja dalam rangka mengemban amanah sebagai bentuk tanggung jawab terhadap rakyat. Oleh karena itu, seorang pemimpin haruslah berlaku adil dan mencari orang-orang yang kompeten untuk menduduki posisi di pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).

 

 

Dalam Islam, untuk mewujudkan perubahan hakiki dan bersih dari korupsi tidak cukup dengan memilih pemimpin yang bersih. Sebab, hal itu tidak bisa menjamin ketika pemimpin yang bersih melebur dengan sistem rusak buatan manusia bisa bersih dan selamat dari praktik korupsi. Maka tidak cukup untuk mengganti pemimpin saja, sementara sistemnya rusak. Ibarat sebuah rumah, ketika fondasinya yang sudah rusak, maka yang diganti adalah fondasinya, bukan dinding ataupun atapnya. Sistem Islam yang berlandaskan akidah Islam adalah fondasi dasar sistem pemerintahan Islam.

 

 

Sistem Islam memandang perilaku koruptor adalah haram sehingga negara tidak memberi ruang bagi para pejabat korup. Hanya orang-orang amanah yang berhak menjadi penguasa, pejabat, dan pegawai. Hal ini sebagai tindakan preventif dari negara. Begitu pula ketika mereka sudah menjabat, negara mengawasi penambahan harta sebelum menjabat dan setelah menjabat. Jika didapati ada penambahan yang mencurigakan, maka negara mengambil tindakan dan memberikan sanksi tegas, yakni dengan mengumukan ke publik, menyita hartanya, takzir hingga hukuman mati. Alhasil, kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali. Wallahu a’lam bishshawwab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis