Sampah Menggunung di Paris van Java
Oleh: Sri Gita Wahyuti A.Md
(Aktivis Pergerakan Muslimah)
LensaMediaNews__Bandung Paris van Java, demikian julukan yang tersemat, bahkan sejak Hindia Belanda masih bercokol di Indonesia. Terus diwariskan hingga saat ini menjelma menjadi pusat pariwisata di Jawa.
Pariwisata Bandung meningkat pesat sejak dibuka jalan Tol Cipularang. Selain menjadi pusat wisata belanja, juga menjadi destinasi tujuan liburan akhir pekan warga Jakarta dan sekitarnya. Jaraknya yang hanya 2-3 jam dari Jakarta menjadikan kota ini dinobatkan sebagai ‘Short Escape’ warga ibukota. Bandung juga punya banyak ruang publik seni seperti museum, galeri, dan gedung pertunjukan.
Namun, masihkah julukan Paris van Java layak disandang Kota Bandung ketika di sana-sini banyak didapati gunung sampah menghiasi? Dengan alasan kendala pengangkutan menuju ke TPA Sarimukti, persoalan sampah kian pelik seolah tak bisa diatasi.
Lebih lagi, setelah terjadi kebakaran di TPA Sarimukti yang merupakan TPA dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Cimahi, Gubernur Ridwan Kamil menganjurkan agar tiap daerah mengatasi sampah secara mandiri. Alhasil gunung-gunung sampah makin terlihat di ruas-ruas jalan kota Bandung. Merusak pemandangan juga penciuman. Bau yang ditimbulkan, pasti akan berpengaruh negatif bagi kesehatan, terutama anak-anak yang rentan terjangkit penyakit. Lingkungan kotor juga berpotensi menjadi sarang bibit penyakit.
Penyebab peningkatan jumlah sampah, nampaknya dipengaruhi oleh gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat itu sendiri. Banyak anggota masyarakat menyukai belanja sekedar memenuhi keinginan. Puas dan bangga bisa berpakaian mengikuti trend masa kini, hingga mengonsumsi berbagai macam jenis makanan karena tak mau ketinggalan tren.
Tak sadar, gaya hidup seperti ini berimbas pada peningkatan pemakaian kemasan, pembungkus, bubble wrap, dan kantong plastik. Lebih berbahaya lagi, mereka tidak menyadari telah masuk pada perangkap para kapitalis, melalui food and fashion, menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan.
Hal ini berbeda dengan Islam. Dalam Islam, halal haram adalah standar hidup seorang nuslim. Setiap muslim akan memegang teguh sikap wara dan zuhud. Dia menyadari bahwa setiap sesuatu yang dibeli akan dihisab pun dengan apa yang dilakukannya. Hingga ia hanya akan membeli pakaian, barang, hingga makanan hanya yang diperlukan saja, bukan karena keinginan apalagi untuk menumpuknya. Gaya hidup seperti ini akan dapat mengurangi produksi sampah. Sesuai firman Allah,
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al A’raf ayat 31)
Islam juga mendorong setiap Muslim untuk memiliki kesadaran terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan. Kesadaran ini, akan menjadikan setiap individu untuk melakukan pemilahan sampah, pengelolaan sampah rumah tangga, dan mengurangi konsumsinya. Islam juga mendorong negara untuk menyediakan segala sumber daya berikut dana untuk mengadakan instalasi pengelolaan sampah dan mendorong para ilmuwan untuk menciptakan teknologi pengelolaan sampah ramah lingkungan. Begitulah cara Islam mengatasi persoalan sampah. Wallahu ‘alam bishshawwab