Seleksi Beasiswa MOSMA, ke Mana Arah Mahasiswa Muslim?
Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
(Redpel Lensa Media News)
LensaMediaNews__Kepala Subdirektorat Ketenagaan, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis), Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag, Ruchman Basori, mengajak para mahasiswa baru untuk memanfaatkan program afirmatif melalui Beasiswa Indonesia Bangkit. Program ini hasil kolaborasi Kementerian Agama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
MORA Overseas Student Mobility Awards (MOSMA) merupakan salah satu program implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka. MOSMA berbentuk program mobilitas fisik yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar di perguruan tinggi luar negeri. Program ini berlangsung selama 1 semester dengan durasi maksimal 6 bulan. Melalui program ini, mahasiswa mendapatkan kredit yang dapat dikonversi ke dalam SKS (Satuan Kredit Semester) di kampus asal.
MOSMA memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk memiliki pengalaman kuliah di perguruan tinggi luar negeri, sehingga dapat meningkatkan wawasan berpikir keilmuan, bersikap terbuka, beradaptasi dengan kultur perkuliahan maupun kehidupan kampus berskala internasional serta merasakan besarnya potensi Indonesia di kancah internasional. Ini diharapkan akan memotivasi mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, baik melalui beasiswa maupun mandiri, dengan kebangaan diri sebagai bangsa Indonesia.
Tahun ini, adalah kali pertama pelaksanaan program Beasiswa MOSMA Kemenag. Ada sekitar 124 mahasiswa PTKIN ( Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) yang telah lolos seleksi dan secara bertahap diberangkatkan ke luar negeri, baik tingkat S1, S2, maupun S3. Sebanyak 67 mahasiswa yang mendapat kesempatan kuliah satu semester di Amerika Serikat, 10 mahasiswa di Inggris, 18 mahasiswa di Malaysia, serta 29 mahasiswa akan kuliah di Tunisia dan Maroko.
Menurut Ruchman, mahasiswa masa kini harus mampu manjawab tantangan era revolusi 4.0 yang ditandai dengan majunya teknologi informasi, komunikasi. Pada saat yang sama, muncul juga fenomena era disrupsi (ketidakpastian), juga menimbulkan fenomena matinya kepakaran (the death of expertice). Ruchman juga minta mahasiswa IAIN Kediri berada pada garda terdepan dalam penguatan moderasi beragama.
Dia mengidentifikasi setidaknya ada tiga masalah yang dihadapi Indonesia saat ini. Pertama, munculnya kelompok yang mempertanyakan konsensus nasional. Kedua, kelompok yang merasa dirinya sebagai orang yang paling benar (truth claim). Ketiga adalah kelompok silent majority, kelompok besar yang memilih diam (kemenag.go.id, 27/8/2023).
Penguatan Moderasi Beragama, Ciptakan Generasi Rapuh
MOSMA adalah sebuah program yang baik jika dibarengi dengan pemahaman yang benar. Setidaknya ada dua hal yang harus dikritisi di sini, pertama, negara yang dituju untuk mahasiswa muslim adalah negara kufur, bahkan terkategori musuh Islam seperti Amerika dan Inggris. Katakanlah ada ulama atau ahli agama Islam di sana, yang sudah menandatangani MOU dengan Kemenag, namun apakah budaya liberalisasi dan sekuler yang bakal dihadapi mahasiswa muslim tersebut tidak mengundang bahaya? Apalagi sejak keberangkatan sudah membawa “misi” penguatan moderasi beragama. Jelas sikap ini ambigu dan makin menampakkan kedangkalan berpikir, menuding kelompok yang berbeda pendapat sebagai lawan.
Kedua, menjadikan barat sebagai kiblat kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan sains sangatlah unhistoris. Sebab kita tahu, kemajuan yang diperoleh barat sejatinya diawali dengan kemajuan peradaban Islam, sementara barat masih berkubang dengan zaman kegelapan. Peradaban barat dibangun dari pandangan terhadap kehidupan yang sekuler, memisahkan agama dari kehidupan. Yang jelas terlarang dalam Islam, tidak mungkin seorang muslim berakidah Islam namun menjalankan syariat atau aturan hidup di luar Islam.
Peradaban Barat yang rapuh, jelas tak mungkin menghasilkan output intelektual bertakwa dan iklas mengkontribusikan ilmunya untuk kebaikan Islam. Sebab barat hanya mengenal kebebasan, Tuhan tak lebih sekadar legitimasi bahwa mereka beradab dan berketuhanan. Tindakan yang lebih keji, seperti LGBT dan ganti kelamin menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan mereka, apalagi kriminal lainnya.
Islam: Cetak Generasi Cemerlang
Program afirmasi beasiswa MOSMA atau program lainnya yang menjadikan pertukaran pelajar dengan negara asing lainnya sejatinya bukti abainya pemerintah kita terhadap jaminan akses pendidikan terbaik bagi rakyat Indonesia. Pendidikan di Indonesia tidak berkualitas seharusnya menjadi perhatian utama penguasa. Bukan menjadikan Barat sebagai role model pendidikan terbaik. Persoalan utama terkait pendidikan di negeri ini sejatinya adalah adanya kapitalisasi pendidikan dan kurikulum yang tidak berbasis akidah Islam.
Sehingga program apapun, hingga berganti menteri ganti kurikulum da tidak akan pernah melahirkan generasi cemerlang, sebaliknya ini hanyalah solusi tambal sulam ala kapitalisme. Sebagai mayoritas berpenduduk muslim, tak seharusnya kita kehilangan arah dalam hal pendidikan generasi, kita telah memiliki Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memberikan tak hanya pendidikan bagi akal, tapi juga nafsiyah atau kepribadian. Sehingga, setiap yang mengenyam pendidikan Islam akan menjadi pribadi yang khas, bertakwa dan memiliki ketrampilan hidup yang mumpuni. Wallahu a’lam bish shawab.