Iuran BPJS Naik, Komersialisasi Layanan Kesehatan
Oleh: Citra Dewi
(Polewali Mandar)
Lensa Medi News – Dikabarkan Iuran BPJS kesehatan akan mengalami kenaikan pada juli 2025. Setelah pernyataan Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqien, mengungkapkan perkiraan adanya defisit sekitar Rp11 triliun pada Agustus-September 2025 dan diperlukan penyesuaian tarif sebelum periode tersebut. Menyusul perubahan tarif standar layanan kesehatan yang mengatur standar tarif terbaru yang menggantikan standar tarif pelayanan kesehatan lama dengan menyesuaikan peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023.
Belum lama ini pemerintah juga telah resmi menghapus Kewajiban belanja minimal (mandatory spending) dari Undang-undang (UU) tentang Kesehatan. Saat setelah DPR mengesahkan RUU tentang kesehatan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR ke-29 selasa 11 Juli lalu. Sebelumnya, diatur besaran anggaran untuk kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD. Ketika batasan minimal itu dihapus mengakibatkan anggaran untuk kesehatan bukan menjadi prioritas lagi. Jadi, akan sah-sah saja kalau dibawah dari 5% di APBN.
Alasan penghapusan ini karena, mandatory spending ini dinilai membuang buang anggaran, lantaran selama ini belanja wajib sebesar 5 persen untuk kesehatan tidak berjalan baik dan tidak menentukan kualitas dari keluaran atau hasil yang dicapai. Keputusan tersebut menuai penolakan dari berbagai pihak.
Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman. Beliau mengatakan dihapusnya mandatory spending dalam UU Kesehatan akan berpengaruh terhadap target yang akan dicapai seperti target prioritas stunting, perbaikan alat dan fasilitas kesehatan, bahkan kualitas pelayanan kesehatan. Dikutip dari CNN.
“Kebijakan tersebut akan memberatkan konsumen, yang sebelumnya ditanggung oleh pemerintah ke depan akan dibebankan kepada masyarakat sebagai pengguna dari jasa kesehatan ini,” Ungkapnya.
Beliau menilai kebijakan itu dapat berpengaruh terhadap program-program pembangunan kesehatan nasional maupun daerah yang kemungkinan akan sulit terlaksana dengan dalih keterbatasan anggaran.
Belum lagi dengan penghapusan kelas rawat inap menjadi kelas rawat inap berstandar jaminan kesehatan nasional (KRIS) juga mendapat penolakan dari banyak pihak termasuk Kelompok buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Mereka menduga bahwa rencana ini sebagai bentuk komersialisasi untuk melaksanakan money follow yang ada di UU kesehatan baru.
Meskipun kenaikan ini masih dalam dua tahun ke depan. Perkiraan defisit dari sekarang menjadi penting bagi pemerintah untuk dapat mengukur kenaikan iuran bpjs nantinya.
Isu di atas membuktikan bahwa sektor kesehatan pun tidak lepas dari komersialisasi para penguasa. Bagaimana BPJS menjadi salah satu yang kerap dikeluhkan oleh masyarakat. Sedikit-sedikit iuran naik yang tentu membebani rakyat. Saat rakyat seharusnya dapat mengakses layanan kesehatan tanpa beban biaya.
Tapi inilah realitas dari program BPJS kesehatan. Rakyat diwajibkan untuk menjadi peserta BPJS agar bisa mendapat pelayanan kesehatan di rumah sakit. Setiap bulannya rakyat harus membayar nominal yang tidak sedikit. Jika tidak, biaya ditanggung sendiri. Belum lagi pelayanan masih jauh dari harapan. Pasien BPJS tidak bisa mengakses layanan berobat di rumah sakit. Mereka harus memeriksa mulai dari fasilitas kesehatan tingkat pertama dan jika tidak mampu ditangani baru bisa dirujuk. BPJS hanya menutupi penyakit-penyakit dan kondisi kegawatan tertentu di IGD. Serta obat-obatan yang berkualitas, biasanya mahal, tidak ditanggung BPJS.
Bukannya fokus mengoptimasi pelayanan kesehatan, pemerintah malah memunculkan proyek baru yang pastinya perlu biaya yang cukup tinggi. Gambaran pelayanan kesehatan seperti ini menunjukkan program ini arahnya tidak jauh-jauh dari kepentingan untung-rugi. Ujung-ujungnya rakyat jugalah yang menjadi sasaran dalam memperoleh keuntungan materi.
Kesehatan merupakan kebutuhan vital rakyat dan itu menjadi prioritas dan tanggung jawab bagi negara. Negara harus menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas secara gratis kepada semua rakyatnya. Memastikan rakyat bisa dengan mudah mengaksesnya. Tidak boleh ada unsur komersialisasi dalam pelayanan kesehatan atau menjadikannya sebagai jasa yang mewajibkan kompensasi.
Penyediaan infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang memadai, Pembiayaan sistem kesehatan dilakukan sepenuhnya negara. Kemudian, pelayanan kesehatan harus memperhatikan kewajiban menjaga dan menyelamatkan jiwa umat manusia. Di masa peradaban Islam, pelayanan kesehatan rumah sakit sejak awal dan perkembangannya begitu diperhatikan dan sangat membantu umat. Terdapat rumah sakit permanen dan nomaden (berpindah-pindah).
Tanggung jawab negara lah untuk memenuhi kebutuhan asasi, termasuk keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Jaminan kesehatan melalui BPJS telah memberatkan rakyat. Memaksa rakyat membayar iuran untuk bisa mendapat layanan kesehatan merupakan bentuk kezaliman. Karena sejatinya fasilitas ataupun layanan kesehatan adalah hak rakyat sepenuhnya.
Wallahu a’lam bi as shawab.
[LM/nr]