Belanja Masyarakat Meroket, Benarkah Bukti Rakyat Makin Sejahtera?

Oleh: Tri Ayuning S.

 

LenSa News Media – Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia tumbuh 5,17% secara tahunan pada triwulan II April – Juni 2023. Pertumbuhan itu ditopang oleh belanja masyarakat yang meroket memasuki Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha disusul liburan sekolah. Dalam kacamata ekonomi kapitalisme, pertumbuhan ekonomi yang menembus angka 5% ke atas, dianggap sebagai indikator pertumbuhan ekonomi yang membaik. Namun, benarkah demikian?

Kalau kita telusuri realitas masyarakat hari ini, akan kita dapati kondisi masyarakat yang masih susah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyaknya kasus gagal bayar pinjol dan pinjaman-pinjaman lainnya menjadi salah satu bukti bahwa kondisi keuangan masyarakat memang tidak baik-baik saja. Belum lagi sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan listrik, pendidikan, kesehatan ditambah sembako yang harganya semakin meroket.

Itu artinya angka pertumbuhan ekonomi yang menjadi angin segar bagi para pejabat, sesungguhnya tidaklah berarti apa-apa bagi masyarakat, bahkan nyaris tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Kalaulah belanja masyarakat meningkat terutama menjelang ramadhan maupun hari raya, maka wajar. Mengingat itu adalah momentum sakral dan identik dengan perayaan, terlebih muslim di negri ini adalah mayoritas. Tentu belanja masyarakat pastilah meningkat. Namun ingat, ini bukanlah belanja harian.

Lagipula menjadikan tingkat belanja masyarakat saja tidaklah cukup untuk dijadikan indikator kesejahteraan. Apalagi yang diambil nilai rerata, belanja orang kaya tentulah berbeda dengan rakyat jelata. Konsep seperti ini sangat tidak relevan untuk meraih kesimpulan tentang meningkatnya kesejahteraan.

Dalam sistem  kapitalisme, SDA yang melimpah di negeri dikelola/diberikan kepada pihak swasta terutama asing. Sisi lain kehidupan rakyat sendiri cukup sulit dalam memenuhi kebutuhan. Apalagi negara tidak menjadi pihak yang menjamin terpenuhinya kebutuhan kolektif masyarakat.

Hal ini sangat berbeda jauh dengan bagaimana di dalam aturan Islam mengukur kesejahteraan mudah dan rinci. Kesejahteraan harus bisa dilihat pada perorangan. Apakah mereka cukup mampu memenuhi kebutuhan harian ataukah tidak. Tidak boleh menjadikan angka pendapatan perkapita (pendapan rata-rata) masyarakat, menjadi tolok ukur kesejahteraan.

Konsep kesejahteraan dalam pandangan Islam tidak akan ada dalam sistem kehidupan kapitalis saat ini. Dan semua itu hanya bisa terwujud dengan sistem Islam kaffah yaitu khilafah. Dimana belanja kebutuhan masyarakat yang sifatnya kolektif seperti kesehatan, pendidikan dan sebagainya yang akan dilakukan oleh negara. Kebutuhan masyarakat yang kolektif ini akan dipenuhi oleh negara dengan mengoptimalkan pengelolaan pos pemasukan negara seperti sumber daya alam yang melimpah.

Dalam Islam, penguasa adalah yang bertanggung jawab atas urusan ummat. Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari no. 844 yang menyebutkan, “Ingatlah, tiap tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap tiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinan nya itu,…”

Negara dalam konsep Islam tidak akan membiarkan rakyatnya terhalangi dalam memenuhi kebutuhannya. Sudah saatnya umat Islam hari ini merasa jera dengan buruknya penerapan ekonomi kapitalis sekuler. Saatnya umat mengembalikan sistem kehidupan yang mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan mereka yaitu sistem Islam kaffah dalam naungan khilafah.

Wallahu’alam.

Please follow and like us:

Tentang Penulis