Revolusi Global Menggugat Demokrasi
Oleh: Iiv Febriana
(Komunitas Muslimah Rindu Syariah)
LensaMediaNews- Survey Pew Research Center terhadap 27 negara baru-baru ini menunjukkan menurunnya ketidakpuasan publik terhadap cara kerja demokrasi di negaranya masing-masing. Hasil polling menyatakan 51% merasa tidak puas dengan bagaimana kinerja demokrasi di negaranya sedangkan 45% lainnya merasa puas. Banyak faktor yang memicu ketidakpuasan publik, diantaranya masalah perbaikan tingkat ekonomi masyarakat secara person per person, politik, sosial dan keamanan. Mayoritas meyakini bahwa pemilihan umum hanya membawa perubahan kecil, dengan permasalahan yang terus berulang hanya menurunkan rasa percaya publik terhadap lembaga negara (www.pewglobal.org, 29/04/2019).
Wajah yang sama terjadi di hampir semua negara yang menerapkan demokrasi. Titik fokus permasalahan selalu pada pelaku atau person yang diamanahi amanah agung rakyat tersebut. Jika terjadi ketidak idealan maka cukup mengganti personnya. Dan hal ini kerap terjadi sekalipun person itu adalah public’s heroes, permasalahan yang sama selalu terulang kembali sehingga masyarakat akhirnya menjadi jenuh untuk berharap dan meragukan kinerja demokrasi.
Teori vs Praktik Demokrasi
Sejak menjalani transisi demokrasi pada tahun 1998, Indonesia sering dianggap sebagai salah satu negara demokrasi paling sukses di Asia Tenggara dan salah satu dari sedikit negara berpenduduk mayoritas Muslim yang berhasil melakukan demokratisasi. Terbukti dianggap berhasil menjalankan Pemilu sebanyak lima kali berturut-turut setiap lima tahun sejak 1998 telah diakui secara luas oleh pengamat internasional diselengagrakan secara bebas dan adil, reformasi konstitusi menyeluruh yang selesai pada tahun 2004, yang mendistribusikan kembali kekuasaan secara merata di antara cabang-cabang pemerintahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan pembentukan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan dapat membuat pejabat publik dan pegawai negeri lebih akuntabel.
Namun, berbagai prestasi tersebut secara bertahap mulai terkikis. Dalam dekade terakhir, banyak lembaga negara yang diciptakan untuk memberikan pemeriksaan dan keseimbangan pada cabang eksekutif dan birokrasi juga mengalami pembusukan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah menjadi “sarang pencuri,” dengan sekitar dua lusin anggota parlemen dituntut atau didakwa dengan berbagai tuduhan korupsi antara tahun 2014 dan 2018, termasuk mantan Ketua DPR Setya Novanto. Hal ini mencerminkan masalah nasional yang lebih besar, karena korupsi juga menjadi wabah endemik di peradilan. Bahkan Mahkamah Konstitusi, salah satu lembaga baru utama yang diciptakan di era Reformasi, tidak kebal dari korupsi, dengan mantan hakim agung dan beberapa hakim dijatuhi dakwaan selama dekade terakhir (matamatapolitik, 28/02/2019).
Revolusi Global
Tak bisa dipungkiri manusia cenderung merasa bahagia dengan kebebasan dan demokrasi memfasilitasi kebebasan tersebut dan menjaminnya. Namun yang menjadi permasalahan jika tiap manusia dibiarkan bebas sebebas-bebasnya akan menimbulkan banyak masalah, karena masing-masing individu membawa kepentingan yang berbeda-beda, dunia hewan saja butuh aturan apalagi manusia.
Lalu pertanyaannya, siapa yang layak membuat aturan tersebut? disinilah yang “Terkuat” yang menentukan. Konsep dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah untuk rakyat yang kuat. Dalam sistem kehidupan dimana materi adalah sumber kekuatan, maka yang kuat secara Kapital (modal) yang berkuasa. Lalu apa yang dihasilkan demokrasi kita? di segala penjuru dunia yang menerapkan sistem ini, kesenjangan sosial, koruptor, sistem hukum yang tidak adil, dan sebagainya adalah pemandangan yang terlihat jelas. Senada dengan kekecewaan yang dibuktikan lewat Survey Pew Research Center.
Jika demikian adanya, artinya demokrasi memang gagal membuktikan narasi besarnya. Demokrasi hanya kata tanpa makna. Demokrasi hanya agung pada ranah teori, tapi nista pada tataran realitas. Semua hanya sekadar nama besar yang sama sekali tidak bermakna. Lalu tak perlu berat hati, jika kita harus mengatakan, bahwa kita tidak butuh apapun dari demokrasi. Demokrasi hanya menjadi parasit dalam kehidupan kita. Demokrasi tak lebih dari sekadar iklan, yang menawarkan sejuta harapan, tapi tidak mampu menunjukkan manfaat.
Wallahu a’ lam biashowab.
[LS/Ry]