Tarif Tol Naik, Kezaliman di Balik Infrastruktur
Oleh: Punky Purboyowati S.S.
(Pegiat Dakwah Bil Qolam, Peduli Sosial)
LensaMediaNews- Fenomena mudik lebaran sering kali dijadikan suatu alasan utama negara dalam mempersiapkan infrastruktur. Agar di saat mudik lebaran tidak mengalami kemacetan, maka pembangunan infrastruktur utama yang dijadikan prioritas yaitu pembangunan jalan tol. Hanya saja, saat ini tarif tol menjadi naik begitu fantastis hingga mengundang kemacetan.
Seperti yang dilansir Tempo.co (25/5/2019), PT Jasa Marga Persero Tbk. resmi memindahkan gerbang tol Cikarang Utama ke gerbang tol Cikampek Utama dan Kalihurip Utama untuk menghindari kemacetan parah di musim mudik lebaran. Namun, ternyata pemindahan itu membuat tarif jalan tol untuk golongan tertentu naik tajam. PT Jasa Marga Persero Tbk. saat ini memberlakukan sistem transaksi terbuka untuk mengatur besaran tarif merata dengan rincian sebagai berikut, wilayah 1 Jakarta IC – Pondok Gede Barat/Timur, penumpang akam dikenakan tarif Rp 1.500. Sedangkan wilayah 2 Jakarta IC – Cikarang Barat dikenai tarif Rp 4.500. Wilayah 3 Jakarta IC – Karawang Timur dikenai tarif Rp 12.000 dan wilayah 4 Jakarta IC-Cikampek dipasang tarif Rp 15 ribu.
Namun, kenaikan tarif tersebut justru berdampak kemacetan yang terjadi di gerbang tol Kalihurip Utama perbatasan Kabupaten Purwakarta-Karawang pada hari pertama pengoperasiannya, (23/5). Diduga karena banyak pengendara tidak mengetahui kenaikan tarif yang baru diberlakukan. Sejumlah penumpang angkutan umum mengeluhkan kemacetan tersebut tidak jauh berbeda sebelum gerbang tol Cikarang Utama dipindahkan ke gerbang tol yang baru. (pikiranrakyat.com/23/5/19).
Sebab itu Wakil Ketua Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo protes dan mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kenaikan tarif tol Jakarta-Cikampek. Penerapan sistem pentarifan secara terbuka dinilai tidak sejalan dengan amanat UU No.38/2004 tentang Jalan sehingga membebani pengguna tol (M.bisnis.com, 28/05/2019).
Sesungguhnya kenaikan tarif di atas ialah suatu kewajaran yang merupakan tindakan kesewenang – wenangan pemerintah. Sebab, infrastruktur apapun yang dibangun mestinya memudahkan rakyat. Namun mengapa justru menambah keruwetan dan tidak menyelesaikan masalah. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah tak mampu mengurusi rakyatnya.
Nyatanya infrastruktur yang dibangun begitu rupa telah menyisakan kepahitan yang mendalam bagi rakyat. Tampak kezaliman negara di balik pembangunan tol yang membuat rakyat tergusur. Seperti pada April 2018 lalu, guna mengejar target penyelesaian ruas tol untuk mudik lebaran, pemerintah Kendal mengeluarkan surat Pengadilan Negeri yang berisi perihal eksekusi pengosongan tanah. Meskipun warga dan investor belum sepakat tentang luas tanah berikut jumlah ganti ruginya, namun melalui UU Pengadaan Tanah menjadi jalan mulus bagi negara dan korporasi untuk merampas tanah rakyat dan hanya menitipkan uang ganti rugi di pengadilan.
Begitulah sistem saat ini yaitu Demokrasi-Kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan. Demikian pula asasnya yaitu sekularisme (mengesampingkan agama untuk mengatur kehidupan), wajar bila moral pejabat menjadi rusak. Tak memikirkan lagi perasaan rakyat yang menjadi korban ketidakadilan. Lalu apa yang bisa dibanggakan dari pembangunan infrastruktur, jika yang diuntungkan para pemilik modal yaitu investor asing?
Ketika membangun infrastruktur, wajar bila negara menggandeng investor asing. Seperti mekanisme Build – Operate – Transfer (BOT) yaitu bentuk pendanaan proyek saat suatu entitas swasta menerima konsesi dari entitas lain (umumnya entitas sektor publik) untuk mendanai, merancang, membangun, dan mengoperasikan suatu fasilitas yang dinyatakan dalam kontrak konsesi (Id.m.wikipedia.org). Melalui BOT dapat dipahami bahwa modal akan kembali dan mendapat keuntungan pada periode tertentu sehingga infrastruktur akan menjadi milik negara. Hanya saja modal diperoleh dari pajak kendaraan. Karena itu ketika masa konsesi habis maka jalan tol mestinya menjadi digratiskan. Seperti tol Jagorawi, tol Bandara, Cikampek, atau Jakarta Tangerang yang dikelola Jasa Marga Tbk. yang masa konsesinya sudah habis sejak 2015. Namun anehnya hingga kini tak kunjung gratis. Bila demikian, maka infrastruktur tol yang dibangun tak mampu mengatasi problem transportasi yang ada. Tol bukan menjadi jalan milik umum yang dapat dinikmati seluruh rakyat.
Sebab itu harus ada sistem yang mampu membangun infrastruktur tanpa harus bergantung pada dana asing yang sarat dengan riba. Hal itu hanya ada dalam sistem Islam (Khilafah). Dana dapat diperoleh dari Baitul Mal (kas negara). Melalui Baitul Mal, negara mampu membangun infrastruktur secara adil dan merata tanpa bergantung pada dana asing. Alhasil infrastruktur dibangun agar dapat dinikmati bahkan secara gratis semata untuk kepentingan rakyat.
Wallahu’alam bishshowab.
[LS/Ah]