Pejabat Pajak Kaya Raya, Rakyat Hidup Sengsara

Oleh: Sri Eni Purnama Dewi

 

Lensa Media News-Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menjadi sorotan imbas penganiayaan dan pamer harta yang dilakukan oleh keluarga Rafael Alun Trisambodo. Kasus ini tak hanya berdampak bagi keluarga Rafael saja, tetapi menimbulkan stigma negatif bagi seluruh jajaran pegawai pajak. Apalagi, kasus ini membongkar banyaknya harta dan kekayaan para pejabat pemungut penerimaan negara yang berjumlah miliaran.

 

Fakta ini sungguh sangat miris, ketika rakyat sedang susah dalam bidang ekonomi pasca pandemi, ditambah banyak pungutan pajak yang harus di bayarkan. di sisi lain kita melihat para pejabat bergelimang harta, seperti tidak memikirkan nasib rakyat kecil dan tidak mau mengurusi rakyat. Yang penting uang setoran dari rakyat lancar. Ini tak ada bedanya dengan zaman penjajahan dulu. Dimana rakyat diperas tenaganya untuk kerja paksa atau membayar upeti. Bedanya jaman now pemerasnya adalah instansi pemerintah. Alih-alih pajak untuk pembangunan negara dan kesejahteraan negara malah disalah gunakan dan dikorupsi. Hingga akhirnya tagar di media sosial atau hastag yang menyuarakan untuk tidak membayar pajak sempat viral.

 

Dalam sistem kapitalisme pajak merupakan penghasilan utama suatu negara. Dengan tidak membayar pajak, maka pembangunan tidak akan berjalan dengan baik dan ketimpangan akan semakin melebar. Para pakar ekonomi kapitalis berpendapat negara membutuhkan pajak sebagai sumber keuangan untuk membangun bangsa dan menyejahterakan kehidupan masyarakat. Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak merupakan kontributor utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kontribusi penerimaan pajak terhadap APBN mencapai 70% (cnbcindonesia.com, 01/03/2023).

 

Kalau kita cermati ada banyak sekali pajak yang harus di bayar oleh warga negara Indonesia, diantaranya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai (BM), Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, pajak reklame dan lain-lain. Pertanyaannya sudahkah pajak yang sebanyak itu membuat rakyat sejahtera dan utang negara berkurang?

 

Nyatanya utang negara makin bertambah, rakyat masih belum sejahtera, justru makin dipersulit dengan banyaknya tagihan pajak yang harus dibayar. Sudahlah bahan pokok makin mahal, pendidikan dan kesehatan juga mahal.

 

Tentu hal ini sangat berbeda jika negara menerapkan sistem Islam. Islam memiliki aturan yang jelas tentang pembiayaan penyelenggaraan negara. Negara akan mengoptimalkan keberadaan Baitul Mal, yaitu pos yang dikhususkan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslimin.

 

Dalam Islam pajak bukan sumber utama pendapatan negara. Meskipun ada pungutan yang mirip dengan pajak yakni dharibah. Akan tetapi faktanya sangat jauh berbeda. Dharibah hanya akan dipungut ketika kas negara dalam keadaan kosong, atau tidak mencukupi, sedang ada pembiayaan yang wajib dipenuhi, yang jika tidak dipenuhi akan membahayakan kaum muslimin. Sehingga dharibah ini hanya bersifat insidental saja, dan akan dihentikan pungutannya jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi.

 

Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata-mata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara yang menerapkan sistem Islam juga tidak akan memungut pajak tidak langsung seperti PPN, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli dan berbagai pajak lainnya.

 

Sumber pendapatan negara dalam Islam yang menjadi hak kaum muslimin dan masuk baitulmal adalah fa’i, jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, khusus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan harta orang murtad. Inilah harta tetap negara. Ada atau tidak ada kebutuhan, akan tetap dimasukkan baitulmal.

 

Selain itu, pejabat negara dalam sistem Islam juga tidak akan memungut biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semua itu termasuk kebutuhan primer yang disediakan dan dijamin oleh negara secara gratis untuk seluruh warga negara. Pejabat dalam sistem Islam juga tidak akan melakukan praktik korupsi yang marak dilakukan pejabat di sistem Kapitalisme saat ini. Karena sistem yang mengatur kinerja pejabat sudah sempurna dan ada sanksi tegas jika melanggarnya. Dalam sistem Islam Khalifah akan menempatkan pejabat yang amanah di setiap bidangnya, pejabat yang bertaqwa dan mengerti hukum syara’.

 

Betapa sempurnanya pengaturan Islam dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Termasuk pungutan yang tidak semestinya, tidak akan dibebankan kepada rakyat. Hanya Islam yang mampu mengatur keuangan negara secara benar untuk kesejahteraan rakyat dan fasilitas umum. Rakyat akan merasakan betapa nikmatnya hidup dalam naungan sistem Islam. Tinggal kita mau memilih sistem kapitalis sekuler seperti sekarang atau memilih sistem Islam yang sudah terbukti menyejahterakan. Wallahu a’lam bishawwab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis