Konten Demi Eksistensi, Wujud Rendahnya Taraf Berpikir Generasi

Kejadian tewasnya W (21) karena kecelakaan saat membuat konten gantung diri merupakan berita duka sekaligus tragis. Pasalnya, kemajuan media dan teknologi ternyata tidak membuat para pembuat konten (content creator) menyiapkan konten yang sarat ilmu dan hikmah namun mengikuti selera pasar dan mencari keviralan. Tentu saja agar viral karena menghasilkan. Lebih miris lagi, rupanya selera pasar adalah video-video unfaedah. Dan karena video unfaedah ini bisa menghasilkan, tak sedikit yang berlomba mencari sensasi dalam konten yang dibuatnya. Sebut saja konten lain seperti nenek mandi lumpur dan video lainnya yang sempat viral di tengah warganet.

Eksistensi diri di tengah mudahnya akses teknologi menjadi hal murah yang diprioritaskan. Namun atas nama eksistensi pula, lahir konten-konten yang mengandung unsur membahayakan, tidak masuk akal, bahkan berisi unsur kebohongan. Hal ini mencerminkan rendahnya taraf berpikir masyarakat yang tak peduli lagi pada manfaat konten yang dibuat maupun ditonton. Alih-alih meningkatkan kapasitas diri dengan menonton konten bermanfaat, konten yang laris dan viral di pasaran justru konten receh. Pada akhirnya para pembuat konten pun menyesuaikan dengan selera pasar. Mana yang laris itu yang dibuat. Mana yang menghasilkan uang tak peduli bagaimana caranya, itu yang diperjuangkan.

Begitulah cara pikir sekuler kapitalis. Orang sudah tidak punya misi untuk meningkatkan manfaat umat, namun kekayaan diri sendiri yang menjadi prioritas. Apapun caranya tidak masalah, selama menghasilkan uang dan popularitas. Namun bagaimana jadinya jika kejadian seperti W (21) ini terjadi? Siapa yang mau bertanggung jawab?

Pada akhirnya ini menjadi evaluasi untuk semua pihak. Bagi pemerintah, sudahkan kebebasan mengakses media dan teknologi menghasilkan insan-insan yang bermoral dan bertanggung jawab? Bagaimana meningkatkan taraf berpikir masyarakat dengan segala kebijakan seputar ITE? Bagi individu, sudahkah memilih konten bermanfaat dalam akses media sehari-hari? Atau justru menyumbang view pada konten-konten unfaedah yang membuat para kreatornya terus memproduksi konten yang unfaedah juga.

Hal demikian tidak bisa lepas dari sistem yang berlaku di tengah masyarakat. Jika yang terus menjadi orientasi adalah uang, materi, eksistensi diri, tanpa menjadikan agama sebagai landasan, beginilah yang terjadi seperti sekarang. Namun jika agama sudah mendasari setiap individu dan diterapkan pada sistem yang berlaku, insya Allah semua akan paham bahwa segala yang sia-sia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Maka, pilih yang mana? [LM/UD]

Fitri Hasanah
Bogor

Please follow and like us:

Tentang Penulis