Nasib Rohingya Tak Akan Selesai di Tangan PBB
Oleh: Ummu Balqis (Ibu Pembelajar)
Mendengar kata Rohingya, sudah pasti terbayang dalam ingatan, yaitu etnis yang terusir dari tanah kelahiran. Mereka dijuluki “manusia perahu” karena terombang-ambing di tengah lautan berbulan-bulan lamanya. Seakan menyerah pada samudera, akan dihantarkan ke mana nasib mereka. Rohingya merupakan etnis Islam yang tidak diakui oleh pemerintah Myanmar. Sehingga mereka sering mendapatkan diskriminasi sangat kejam menjadikan mereka terpaksa harus keluar dari negerinya untuk mendapatkan hak suaka dari negara lain.
Baru-baru ini, ratusan orang Rohingya kembali terdampar di Aceh dalam dua hari berturut-turut. Rombongan pertama tiba di Pesisir Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, pada Minggu (25/12/2022). Kapal yang mengangkut 57 pengungsi Rohingya itu diduga bocor dan rusak lalu terbawa angin ke perairan Aceh. Keesokan harinya atau Senin (26/12), sebuah kapal yang berisi setidaknya 174 orang sampai di pesisir Desa Ujung Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie. (bbc.com, 28/12/2022).
Dengan alasan kemanusiaan dan menjunjung nilai-nilai HAM, Indonesia bersedia menampung sementara waktu pengungsi Rohingya. Pada dasarnya, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (protokol 1967), yaitu sebuah perjanjian multilateral yang mendefinisikan status pengungsi, dan menetapkan hak-hak individual untuk memperoleh suaka dan tanggung jawab negara yang memberikan suaka. Ada beberapa alasan mengapa Indonesia belum meratifikasi konvensi ini, di antaranya karena alasan politik domestik, ekonomi dan keamanan, serta konteks Internasional.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai organisasi internasional mengampu mandat dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yaitu memberikan perlindungan serta memberikan bantuan berupa pemenuhan kebutuhan dasar bagi pencari suaka dan pengungsi dan bekerja sama dengan beberapa mitra. Saat ini status pengungsi Rohingya ditangani oleh UNHCR dan belum ada kejelasan nasib mereka.
Banyak kalangan masih berharap kepada PBB untuk menyelesaikan kasus Rohingya. Padahal memberi harapan pada PBB tidaklah tepat. Memang benar, PBB telah mengecam tindakan anarkis yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar kepada etnis Rohingya, akan tetapi kecaman itu hanya sekadar basa basi saja. Bagaimana tidak, jika benar PBB serius ingin menghentikan kebrutalan pemerintah Myanmar, tentu gampang bagi PBB mengirimkan polisi dunia (NATO) ke Myanmar demi menolong etnis Rohingya. Namun hal ini tidak pernah dilakukan oleh PBB.
Tidak hanya itu, PBB berjalan di bawah kontrol negara Adidaya, lantas mengapa Myanmar begitu beraninya menutup mata dan telinga dari kecaman-kecaman PBB? Bukankah ini hal yang janggal, mengingat kekuatan politik Myanmar tidak ada apa-apanya dibandingkan negara PBB. Lebih tepatnya, inilah sikap hipokrit PBB. Di satu sisi PBB mengecam Myanmar dan memberi perhatian kepada para pengungsi Rohingya. Bahkan mengajak negara-negara lain untuk membantu memberikan suaka kepada Rohingya. Namun di sisi lain, PBB membiarkan Myanmar berlaku sesuka hati.
Hal ini sangat logis, dikarenakan Rohingya adalah etnis muslim. Kebencian terhadap muslim tidak akan pernah berhenti hingga kita mengikuti millah mereka. PBB tidak benar-benar ingin menyelesaikan permasalahan Rohingya dan permasalahan kaum muslimin lainnya. Berharap pada PBB hanya sia-sia belaka.
Setiap negara memiliki sekat-sekat nasionalisme. Pasti akan terasa berat menampung warga negara asing yang mencari suaka. Khususnya Indonesia, yang sedang mengalami krisis ekonomi, tentu merasa terbebani dengan adanya para pengungsi ini. Sekat nasionalisme telah menjadikan kaum muslimin lupa saudara seiman. Besar kemungkinan Indonesia akan menolak Rohingya dan mereka akan kembali ke samudera. Seolah-olah rumah mereka hanya diizinkan dalam sebuah perahu, hidup terjepit, terombang-ambing di tengah lautan, hingga ajal datang menjemput mereka.
Masalah Rohingya adalah masalah kita, masalah umat Islam. Tidak layak bagi seorang muslim membiarkan saudara seiman dizalimi oleh musuhnya (kafir). Namun sekat nasionalisme menjadikan tangan kita terbelenggu untuk menolong mereka. Maka dari itu, sudah saatnya kita melepas belunggu nasionalisme ini.
Negara Islam adalah negara yang menyatukan seluruh kaum muslimin. Islam akan memutuskan semua sekat nasionalisme. Sehingga apabila ada warga negara asing berstatus muslim mencari suaka ke negara Islam, wajib bagi negara Islam untuk membantu tanpa perlu banyak pertimbangan. Bahkan jika dia seorang nonmuslim pun, wajib diberikan pertolongan atas kezaliman negara asal.
Apabila negara kafir tersebut tidak henti-hentinya memerangi kaum muslimin, maka negara Islam akan melakukan jihad fisabilillah. Tidak hanya dengan memberikan kecaman saja. Jihad adalah bukti nyata pembelaan negara Islam terhadap kaum muslimin. Hal ini tidak akan terjadi, jika masih berharap pada PBB. Wallahualam.