Sejahtera di Hari Tua, Beban Buat Negara?

Oleh: Anita Ummu Taqillah
(Komunitas Menulis Setajam Pena)

 

Lensamedianews.com– Setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pensiun di negeri ini mendapatkan dana pensiun, sebagai kompensasi atas jasanya selama menjadi ASN. Namun, baru-baru ini dana pensiun ramai diperbincangkan, karena dianggap membebani APBN. Padahal selama menjadi ASN, gaji mereka dipotong sekian persen untuk iuran pensiun. Lantas, benarkah jika dana pensiun membenani APBN?

Dilansir tempo.co (29/8/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI, Rabu, 24 Agustus 2022, menyebutkan bahwa belanja dana pensiun PNS sepenuhnya ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Dalam kesempatan berbeda, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengungkapkan tahun ini APBN dialokasikan sebesar Rp 136,4 triliun untuk membayar uang pensiun PNS. Kondisi ini, kata Sri Mulyani, dinilai membebani APBN dalam jangka panjang.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan menyesalkan anggapan tersebut. Menurutnya, hal ini terkesan tidak menghargai pengabdian ASN atau PNS (Pegawai Negeri Sipil) untuk negara. Syarif juga menerangkan jika PNS merupakan unsur penyelenggara negara yang telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk pelayanan publik. Sehingga mereka layak mendapatkan apresiasi di hari tuanya. Maka pensiunan bukanlah beban negara sebagaimana tendensi yang disampaikan pemerintah (finance.detik.com, 28/8/2022).

Dalam pemerintahan yang mengemban kapitalisme sebagai sistem pengaturan dan pengurusan rakyat, tak heran jika kebijakan demi kebijakan terkesan grusa-grusu. Sehingga seolah kurang perhatian terhadap masyarakat dan minim penghargaan bagi ASN. ASN yang terikat dengan aturan negara, dan berperan besar dalam pelayanan masyarakat seharusnya mendapatkan upah atau imbalan yang besar sesuai pengorbanannya.

Namun kini, dengan kabar bahwa dana pensiun menjadi beban APBN, semakin membuat ASN kecewa. Apalagi tiap bulannya, gaji mereka dipotong untuk iuran pensiun. Dimana skema penghitungan pensiunan PNS menggunakan sistem pay as you go, yakni hasil iuran 4,75 persen dari gaji ASN, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang atau Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Maka, jika benar menjadi beban APBN, tentu aneh dan terkesan hanya sekedar dalih untuk lepas tangan dari pengurusan pensiun.

Di jaman kapitalisme berkuasa seperti saat ini, ASN mengabdi pada negara, dengan gaji yang pas-pasan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Apalagi segala kebutuhan terus merangkak naik, sedangkan gaji ASN tidak mengalami kenaikan. Maka wajar jika ASN masih mengharap uang pensiun sebagai bekal kehidupan di hari tua.

Hal itu sangat berbeda jika sistem Islam yang menguasai kehidupan. Sebab dalam Islam sangat menghargai pekerja, dan memberi upah yang sesuai dengan kapasitas, keahlian serta jenis pekerjaannya. Meski dalam Islam tidak ada istilah uang pensiun, namun dari upah yang diperoleh selama bekerja insyaallah sangat bisa dijadikan bekal untuk hari tua.

Sebagai contohnya jaman dahulu pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Dalam buku Fikih Ekonomi Umar Bin Khattab, karangan Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Khalifah Umar membayar gaji para pengajar sebesar 15 dinar setiap bulan. Jika 1 dinar 4,25 gram emas, maka dalam rupiah akan kita dapati besarannya sekitar 63 juta rupiah.

Kalaupun ternyata upah selama bekerja tak cukup untuk hari tua, maka kebutuhan dasar kehidupan para pensiunan akan ditanggung oleh negara. Mulai dari makan, tempat tinggal, pakaian, kesehatan juga keamanannya. Bila ada pensiunan memiliki yang tanggungan, maka akan mendapat sokongan negara untuk menunaikan tanggung jawabnya.

Bila pensiunan meninggal dalam keadaan punya utang dan tidak ada ahli warisnya, maka negara wajib membayarnya. Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) dari Nabi saw bersabda:

“Barangsiapa meninggalkan harta, maka bagi ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan tanggungan, maka kami yang menjaminnya.” (HR. al-Bukhari, nomor 6266).

Maka, sudah seharusnya negara bertanggungjawab atas kebutuhan dasar hari tua rakyatnya. Agar rakyat seluruhnya sejahtera dan hidup tenang menghadapi hari tua. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/UD]

Please follow and like us:

Tentang Penulis