Matinya Harapan untuk Penegakan Hukum
Oleh : Dewi Ummu Aisyah
Lensa Media News – Kasus yang menjerat oknum polisi kembali terjadi. Dikutip dari laman Tempo (24/01/2022), baru-baru ini di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), terjadi kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum polisi Bripta BT kepada seorang mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) berinisial VDPS, yang merupakan mahasiswi magang di tempat Bripta BT bertugas yakni di Satresnarkoba Papolresta Banjarmasin.
Setelah saling berkenalan, komunikasi berlanjut hingga di luar kegiatan magang. Dikutip dari detik.com (27/01/2022), pada Rabu malam (18/08/2021) pelaku mengajak korban jalan-jalan hingga berujung pada kasus pemerkosaan. Saat kejadian korban diperkosa dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah hotel setelah dicekoki minuman tertentu.
Pelaku telah mendapat sanksi internal berupa pemecatan dari kepolisian. Dan divonis pidana 2 tahun 6 bulan pada 11 Januari 2022 oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin. Terdakwa divonis bersalah melakukan tindak pidana asusila seperti yang dimaksud dalam Pasal 286 KUHP tentang persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya sedang diketahuinya perempuan itu pingsan atau tidak berdaya.
Vonis ringan tersebut sempat disesalkan oleh korban lewat postingan di media sosial dan juga mengundang aksi unjuk rasa ratusan mahasiswa ULM di depan Kejaksaan Tinggi Kalsel. Putusan ringan itu dinilai tak lepas dari jaksa penuntut umum yang juga menuntut ringan polisi pemerkosa dengan 3,5 tahun penjara. (detik.com, 27/01/2022).
Padahal menurut tim advokasi Fakultas Hukum ULM, dengan melihat pada fakta kejadian, pelaku lebih tepat diterapkan pasal 285 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 12 tahun. (Tempo.co, 24/01/2022)
Kasus kekerasan seksual yang berujung pemerkosaan terus merebak di negeri ini. Bahkan bagaikan fenomena gunung es, yang muncul ke permukaan baru sebagian. Pelakunya semakin tidak masuk akal, mulai dari keluarga terdekat hingga para aparat yang mestinya merekalah pelindung rakyat. Di sisi lain, kaum feminis terus berupaya menggolkan RUU PKS yang kata mereka inilah solusinya. Apakah iya? Dengan isi yang berbau kebebasan, tidakkah aksi pelaku kekerasaan seksual justru makin kebablasan?
Tidakkah kita bertanya, mengapa meski berbagai aturan telah diterapkan, tapi hal ini tidaklah membuat pelaku ngeri untuk beraksi? Mengapa meski berbagai sanksi telah diberikan, tapi keadilan masih sulit dirasakan? Keadilan, akankah sekedar harapan?
Inilah fakta ketika aturan berjalan di atas asas sekularisme, agama bukan sebagai pedoman. Aturan kehidupan dibuat sendiri oleh akal manusia yang terbatas dan penuh dengan kepentingan, hingga sering kali solusi yang diberikan justru tidak menyentuh akar persoalan. Lalu bagaimana solusi Islam atas kasus kekerasan seksual?
Kekerasan seksual tidak akan mampu diatasi hanya dengan memberi sanksi. Tapi haruslah pula memperhatikan sisi antisipasi. Kekerasan seksual bukanlah perkara gender, tapi sikap yang sangat ditentukan oleh pemahaman individu, kontrol sosial dan aturan. Oleh karenanya, Islam yang merupakan agama sempurna dari Sang Pencipta, telah menetapkan berbagai aturan mulai dari preventif hingga kuratif.
Dari sisi preventif Islam mengharuskan setiap amal haruslah sesuai dengan tuntunan syariat. Pemahaman Islam akan terus ditanamkan, hingga amal tidak dipandu oleh nafsu atau perasaan. Islam juga telah mengatur sistem pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki maupun perempuan diperintahkan untuk menutup aurat dan menjaga pandangan. Perkara ikhtilat atau campur baur telah diatur, mana yang boleh dan mana yang tidak.
Islam mewajibkan tiap individu untuk beramar ma’ruf nahi munkar, bukan bersikap acuh pada sekitar. Di sisi preventif inilah individu yang bertakwa dan kontrol masyarakat saling memerlukan.
Dalam Islam akses mendekati zina akan ditutup rapat. Ketika telah mampu, maka pernikahan adalah solusi. Menikah bukanlah perkara sulit. Bahkan negara akan memfasilitasi, bukan menghalangi hingga berujung “MBA”. Seperti pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, dengan kas negara yang berlebih, beliau memutuskan untuk membayarkan mahar setiap pemuda yang siap menikah namun tidak memiliki biaya.
Dari sisi kuratif, Islam telah menetapkan sanksi berat bagi pelaku kejahatan dan kekerasan seksual. Misalnya bagi pezina yang telah menikah, maka akan dihukum razam. Pezina yang belum menikah, maka akan diberi sanksi dera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Allah berfirman, ” Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (QS. An Nur [24]: 2).
Dengan sanksi tersebut masihkah pelaku berani untuk beraksi? Itulah sanksi di dalam Islam, tidak hanya berfungsi sebagai zawajir (pencegah), tapi juga sebagai jawabir (penebus dosa). Semua aturan berasal dari sumber yang pasti yakni Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Disinilah fungsi negara diperlukan. Yakni untuk menerapkan seluruh aturan Islam, hingga keadilan bukan sekedar harapan, tapi sebuah keniscayaan.
[hw/LM]