Jangan Terjebak Kekuasaan, Wahai Ulama Dunia!
Oleh: Hanif Kristianto
(Analis Politik dan Media di PKAD)
Lensa Media News – Barangkali ini kegelisahan seorang ulama ketika duduk di kursi kekuasaan. Setelah memenangkan kontestasi pemilihan presiden-wakil presiden, tak cukup membuat tenang. Di tengah hiruk pikuk politik negeri ini yang dinamis, hati nurani muncul. Bisa jadi ini pesan yang terlihat seolah untuk publik, tapi sebenarnya kembali kepada pemberi pesan.
Pasca kemunduran taraf berpikir umat Islam terkait politik yang tampak dari tidak banyaknya ulama yang membincang politik-apalagi setelah penjajahan Barat melalui pemikiran yang dicekokkan kepada umat Islam, politik dianggap sebagai ruang kotor sarang penyamun. Tak banyak juga ulama yang bicara politik Islam, meski itu ada dalam kitab-kitab ulama terdahulu yang terkenal. Dunia pun berubah. Islam politik yang bermakna mengurusi urusan umat dalam seluruh aspek, ditinggalkan. Demokrasi dianggap Islami. Monarki dilanjutkan sebagai pelanggengan eksistensi sebuah bani. Tak ada gambaran jelas mana negara yang benar-benar menerapkan Islam kaffah. Hasilnya, cara pandang politik ulama terbelah. Satu sisi masuk ke dalam kekuasaan untuk tetap menyuarakan pembelaan Islam. Sisi lain menjauh dan asyik-masyuk dalam ritual transendental.
Politik Ulama Indonesia
Disadari atau tidak, sebagian ulama menginginkan Islam sebagai aturan hidup bernegara. Sebagian lagi menolak bahkan mengajukan argumen “Rasul tidak diutus untuk mendirikan negara, tapi memperbaiki akhlak manusia”. Ulama yang sejatinya pewaris para Nabi, terputus sanad siyasinya (politik kenabian).
Konsekuensi negara republik yang mengambil demokrasi sebagai sistem politik telah menempatkan ulama pada pendulang suara. Ulama yang sejatinya sebagai garda terdepan dalam memberikan nasehat penguasa, seolah tak mampu berkata-kata. Bersuara sedikit kritis sudah dicap jelek dengan anak turunannya. Penguasa pun memposisikan ulama pada sudut-sudut sempit dalam tausiyah, ceramah agama, hingga doa pada acara di istana.
Sudah mafhum dalam setiap menjelang pemilu, calon penguasa berebut legitimasi dari ulama. Berharap ulama berfatwa untuk memilih dan mendukung calon yang sowan kepada ulama panutan umat. Seolah sama, umat yang tak memiliki daya nalar kritis pun mengiyakannya. Sebelas dua belaslah.
Kenapa ulama di negeri ini tak banyak yang melek politik? Bahkan jika masuk ke kekuasaan cenderung melupakan umat dan agamanya. Ada beberapa hal yang penting untuk dicatat: Pertama, sistem politik demokrasi yang berasaskan sekularisme telah ‘melarang agama’ mengatur urusan bernegara. Agama cukup dalam ruang privasi dan ritual. Jika pun diurus negara, itu yang menguntungkan dan ada duitnya.
Kedua, ketika ulama masuk dalam sistem kekuasaan demokrasi, status boleh ulama tapi kebijakannya tak mampu mengendalikan. Sebab lingkaran kekuasaan sudah dikunci dan dikekang untuk tidak menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ada yang coba menawarkan gagasan Islam langsung dikatakan tak menghormati founding father dan anti kebhinekaan.
Ketiga, ulama melupakan politik Islam yang suci. Jika mengkaji lebih jauh bahwa politik dan kekuasaan seharusnya dijadikan untuk mengurusi dunia dan mengatur negara. Ulama seharusnya berperan penting dalam pengawalan setiap kebijakan penguasa. Bukan sebagai legitimasi kebijakan yang sering zalim dan mengaborsi Islam.
Keempat, harta, tahta, dan kekuasaan jadi tujuan utama jalan keselamatan. Bukan tidak mungkin, demi mencari selamat, maka dengan penguasa harus dekat. Tatkala dunia sudah menguasai ulama, maka ulama hanya dikenal dunia tapi melupakan keakhiratannya.
Kelima, penguasa tidak menjadikan ulama sebagai penasehat utama dalam mengambil hukum dan kebijakan. Nafsu angkara kekuasaan sering kali menabrak rambu dan norma hukum yang berasal dari Allah SWT.
Reorientasi Ulama Berkuasa
Jika ulama tetap memaksakan masuk dalam kekuasaan hendaknya memahami bahwa itu hanya wasilah untuk menerapkan syariah. Kekuasaan itu tanggung jawab untuk mengurusi rakyatnya. Sedihnya rakyat karena kelaparan, stunting, dan tak miliki pekerjaan adalah tanggung jawab besar di akhirat. Jahatnya rakyat dalam tindakan kriminal karena pembunuhan, korupsi, pencurian, dan lainnya adalah beban berat di akhirat. Siapa yang akan memikul dosa besarnya?
Kini umat membutuhkan ulama yang tak sekadar beretorika dalam kursi kekuasaannya. Umat membutuhkan ulama yang hanif, sorih, dan mukhlis semata-mata meraih rida Allah SWT. Kebahagian seorang ulama ketika menjadi penguasa bukan dengan banyaknya harta, tapi dengan banyaknya takut kepada Allah SWT. Bukankah sesungguhnya hamba yang paling takut kepada Allah adalah ulama?
[lnr/LM]