Ada Apa di Balik Kelangkaan Gas Bersubsidi?

Oleh Nining Sarimanah
Pegiat Literasi

 

Lensamedianews.com__ Kelangkaan gas elpiji 3 kg sudah dirasakan masyarakat secara luas. Pasalnya, pemerintah pada 1 Februari 2025 resmi menerapkan kebijakan baru, yang melarang penjualan gas melon sampai ke tingkat pengecer atau warung kelontong. Warga harus membeli gas bersubsidi ke pangkalan resmi yang telah ditetapkan Pertamina. (sindonews.com, 4/2/2025)

 

Adapun, alasan larangan penjualan eceran menurut Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia adalah ingin memastikan gas LPG 3 kg yang merupakan barang bersubsidi, diterima kepada masyarakat yang berhak. Selain itu, untuk mencegah kenaikan harga yang tidak terkendali dari tingkat pengecer.

 

Terlepas dari alasan yang disampaikan pejabat negara, dibatasinya LPG 3 kg memicu kepanikan masyarakat karena sulitnya mendapatkan gas bersubsidi. Tidak sedikit masyarakat rela antre berjam-jam dengan membawa KTP di pangkalan LPG.

 

Kondisi ini tentu mematikan bisnis pengecer bermodal kecil yang sehari-harinya menggantungkan hidupnya pada usaha tersebut. Namun, di sisi lain memperbesar bisnis pemilik pangkalan. Tidak dimungkiri sulitnya mendapatkan gas 3 kg membuat masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah, khususnya pelaku usaha kecil makin terpuruk.

 

Melihat keresahan yang terjadi di masyarakat. Presiden pun turun tangan dan mengintruksikan langsung Menteri ESDM, Bahlil untuk mengaktifkan kembali di tingkat pengecer agar bisa berjualan lagi gas LPG 3 kg. Meskipun begitu, ketersediaan gas masih langka misalnya di Kabupaten Bantul.

 

Setelah aturan baru itu dicabut, Bahlil ‘kekeh’ berencana melakukan penataan sistem distribusi gas LPG 3 kg, salah satunya dengan menaikkan status pengecer menjadi sub-pangkalan. Langkah ini dilakukan, agar distribusi gas elpiji 3 kg dapat terkontrol dan harga tetap stabil.

 

Dengan perubahan ini, maka pengecer yang ingin tetap menjual gas LPG 3 kg, harus mengikuti regulasi baru yang ditetapkan pemerintah. Tentu hal ini, menjadi tantangan dan masalah bagi pengecer, sebab menjadi sub-pangkalan tidak mudah perlu modal cukup besar dan memenuhi syarat untuk menjadi agen resmi.

 

Dilansir dari bisnis.com (4/2/2025) untuk menjadi agen resmi, pengecer melakukan pendaftaran ke pangkalan LPG. Setelah itu, calon agen akan diarahkan untuk membuat akun Online Single Submission (OSS), selaku penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Pendaftaran akun tersebut untuk memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB) yang kemudian diserahkan kepada agen.

 

Terkait berapa modal yang harus dimiliki pengecer agar bisa menjadi agen resmi. Menurut informasi resmi dari Pertamina, pendaftaran untuk menjadi agen LPG, gratis. Akan tetapi, modal awal yang dibutuhkan sekitar 100 juta. Anggaran ini digunakan untuk berbagai keperluan, seperti biaya sewa tempat usaha, biaya operasional, mobil angkut, dan pembelian tabung gas.

 

Adapun syarat yang harus dipenuhi pengecer. Pendaftar harus menunjukkan bukti saldo rekening atas nama pemilik atau badan usaha, juga melampirkan NPWP, surat referensi bank SIUP, serta SKCK.

 

Kemudian, agen harus berbentuk Badan Usaha (Perseroan Terbatas atau Koperasi) yang dibuktikan dengan akta pendirian lengkap dan pengesahan Kemenkumham.

 

Tak hanya itu, pendaftar juga melampirkan hasil scan KTP Direktur perusahaan dan scan NPWP perusahaan. Pendirian agen harus berada dalam bangunan yang memiliki luas lahan minimal 165m2. Sedangakn untuk SPBE minimal 4.150 m2 (84mx 50m), dan BPT minimal 1.000 m2 (40mx25m).

 

Dari gambaran di atas, regulasi yang ditetapkan pemerintah tentu sangat sulit bagi pengecer yang modalnya terbatas, seperti warung dan toko kecil.

 

Karena itulah, kebijakan tersebut sangat zalim. Sudah kesekian kali aturan pemerintah tidak pro rakyat. Padahal, rakyat adalah pihak yang mesti diurusi setiap kebutuhannya, termasuk migas yang menjadi bahan bakar untuk keperluan ibu rumah tangga maupun usaha masyarakat.

 

Segala kesulitan yang dialami masyarakat tidak terlepas dari paradigma kapitalisme dalam memandang urusan masyarakat. Kapitalisme memosisikan penguasa, bukan sebagai pengurus dan pelayan rakyat, tetapi sebagai pedagang.

 

Di sisi lain, watak asli kapitalisme memudahkan pemilik modal besar untuk menguasai dari bahan baku, hingga bahan jadi. Sistem ini juga, merampas aset umat dengan memberi jalan kepada korporasi untuk mengelola sumber daya alam.

 

Berbeda dengan Islam. Islam menjadikan penguasa sebagai pelayan rakyat yang selalu siap siaga memastikan segala kebutuhan rakyat terpenuhi, termasuk migas. Sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah saw., “Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan rakyat yang menjadi pelayan pemimpin.” (HR. Abu Dawud).

 

Penguasa Islam menjalankan kekuasaannya dengan amanah, karena ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt., sehingga aturan yang diterapkan seluruhnya syariat Allah, bukan hukum buatan manusia.

 

Karena itulah, negara tidak boleh menguasai bahkan menjual harta milik umum kepada perusahaan maupun individu. Sebab kekayaan alam ini, sangat dibutuhkan masyarakat luas, yang jumlahnya sangat besar.

 

Dengan demikian migas termasuk apa yang disampaikan Nabi saw., “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yakni air, padang rumput, dan api. Dan harganya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah)

 

Oleh karena itu, sangat jelas bahwa hanya Islam saja yang mampu memberikan kesejahteraan dengan berbagai aturan yang memudahkan masyarakat untuk bisa mengakses kebutuhan. Negara akan mengelola SDA hanya untuk kepentingan rakyat, bukan untuk segelintir orang.

Hal yang berbeda dengan Kapitalisme dalam memandang kekayaan alam. Sistem ini, tidak mengenal adanya pembagian harta, mana harta kepemilikan umum, negara, dan individu.

 

Karena itu, negara yang menganut sistem ini, mengizinkan perusahaan maupun individu untuk mengelola SDA mulai dari hulu hingga hilir. Alhasil, rakyat kesulitan untuk memperoleh manfaat dari kekayaan alam tersebut.

Wallahualam bishshawab

Please follow and like us:

Tentang Penulis