Kebijakan ABS, Sengsarakan Rakyat

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LenSa MediaNews.Com–Menteri ESDM Bahlil Lahadalia meminta maaf terkait adanya warga yang meninggal saat antre LPG 3 Kg di Pamulang, Tangerang Selatan. Namun fakta itu tidak mengundurkan langkah pemerintah untuk menata penyaluran LPG 3 Kg yang selama ini tidak tepat sasaran. Sebab, 80 persen penikmatnya adalah orang mampu (cnnindonesia.com, 4-2-2025).
Kebijakan larangan pembelian LPG 3 kg di tingkat pengecer dan hanya boleh di pangkalan resmi Pertamina berlaku sejak 1 Februari 2025. Karena LPG menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, tentu saja menimbulkan kegaduhan, keberadaan LPG 3 kg menjadi langka, tak tersedia lagi di pedagang eceran sebagaimana hari-hari sebelumnya, otomatis antrean mengular hingga memakan korban jiwa.
Yang melatarbelakangi pemerintah akhirnya merasa perlu untuk mengatur ulang distribusi LPG 3 kg ini, karena adanya praktek oplos, setelah dioplos lantas dijual oknum tertentu ke pihak industri, padahal menurut Bahlil pemerintah sudah memberi subsidi hingga Rp 87 triliun per tahun. Artinya subsidi tersebut menjadi tidak tepat sasaran.
Semula Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Achmad Muchtasyar mengatakan perubahan status ini bertujuan agar penyaluran subsidi gas tersebut bisa dikontrol, namun dalam beberapa hari praktik di lapangan, ia pun mengatakan pemerintah memutuskan untuk mengembalikan penyaluran LPG 3 Kg seperti semula. Langkah berikutnya, pemerintah akan menaikkan status para pengecer menjadi sub-pangkalan.
Yang mengejutkan, Wakil ketua DPR RI, Sufmi Dasco menyebutkan sebenarnya kebijakan pengecer dilarang berjualan LPG bersubsidi 3 kilogram kg ini bukan kebijakan dari Presiden RI Prabowo Subianto. Namun karena dampaknya sangat berbahaya, akhirnya Presiden Prabowo campur tangan.
Kebijakan Asal Bapak Senang (ABS), Buat Rakyat Meregang
Peraturan menteri terkait teknis perubahan pedagang eceran menjadi sub-pangkalan belum dibuat namun kebijakan sudah dirubah, hanya ketika di lapangan rakyat antre dan sudah memakan korban. Kita sedang bicara kebijakan setingkat presiden dan menteri, namun seolah kentut keluar tanpa bisa ditahan. Dampak yang ditimbulkan sungguh luar biasa.
Presiden pun baru cawe-cawe saat situasi sudah sangat genting, apakah koordinasi antara pemimpin dan pembantunya (menteri) tidak ada? Bukankah kabinet menteri, wakil menteri, staf khusus hingga duta besar dibentuk untuk melancarkan program pemerintah, menyejahterakan rakyat dan memajukan bangsa? Jika setiap kebijakan diurus sendiri-sendiri jelas sangat berbahaya.
Rakyat adalah pihak yang wajib dilayani, logikanya kemampuan rakyat terbatas sedangkan negara memiliki semua perangkat yang dibutuhkan. Namun, dalam sistem kapitalisme yang diadopsi negara Indonesia ini demikian juga seluruh negara di dunia ,memang sangat sulit mewujudkan kesejahteraan, disebabkan kekuasaan hakiki bukan pada rakyat tapi pada pemilik modal terbesar.
Setiap kali negara berniat mengelola kekayaan negerinya sudah lebih dulu diatur oleh para oligarki pemilik modal alias pemilik kekuasaan riil. Penyebabnya, karena sistem politik kita saat memilih pemimpin adalah demokrasi, yang berbiaya tinggi. Tidak setiap calon pemimpin memilikinya, maka modal oligarkilah yang berperan, dengan syarat dan ketentuan berlaku, di antaranya harus terima jika kedaulatan bukan di tangan Tuhan, kekuasaan bukan di tangan rakyat, tapi kembali kepada oligarki.
Posisi negara akhirnya menjadi pihak yang siap menggelar karpet merah bagi setiap kepentingan oligarki. Fungsi hakiki pemimpin negara tergradasi hingga hanya menyisakan kerbau yang dicocok hidungnya, sigap mengamankan kepentingan tuannya bahkan tak sayang jika rakyat meregang, kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya.
Hanya Islam Yang Jamin Rakyat Sejahtera
Ibn Majah menuturkan riwayat dari Abdulah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid dari Ibn Abbas, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput (hutan), dan api (energi); dan harganya adalah haram“. (HR Ibn Majah).
Semua ulama dan para imam sepakat makna hadis ini adalah larangan memperjualbelikan harta milik umum ( energi bumi, tambang, gas dan lainnya) kepada asing, melainkan negaralah sebagai pengelola, distribusi, hingga penjamin mudahnya akses rakyat untuk memperolehnya. Bisa berupa zatnya seperti BBM, gas, LPG dan lain-lain, maupun berupa hasil penjualannya untuk pembangunan fasilitas publik semisal sekolah, rumah sakit, jembatan dan lain-lain.
Bencana demi bencana selalu berulang, nasib rakyat jadi permainan. Tidakkah ini cukup membuka mata, bahwa kita kaum muslim memiliki cara terbaik keluar dari penderitaan ini? Yaitu Islam.
Tak ada kebijakan asal-asalan, sebab Islam mensyaratkan kekuasaan akan dimintai pertanggungjawabkan, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Wallahualam bissawab. [LM/ry].