Marak Perdagangan Bayi, Islam Punya Solusi
Oleh Anastasia, S.Pd.
Lensamedianews.com__ Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, menangkap dua bidan berinisial JE (44 tahun) dan DM (77 tahun) tersangka pelaku jual beli bayi. Direktur Reserse Polda DIY Kombes Pol FX Endriadi menyatakan, keduanya telah melakukan jual beli bayi selama 14 tahun atau sejak 2010 lalu.
Berdasarkan data yang diperoleh Polda DIY, dari kurun 2015 hingga saat tertangkap tangan pada 4 Desember 2024, kedua bidan telah menjual sebanyak 66 bayi, terdiri atas 28 bayi laki-laki dan 36 bayi perempuan serta 2 bayi tanpa keterangan jenis kelaminnya. (tempo.com, 13-12-2024).
Sungguh miris melihat maraknya perdagangan bayi, yang senantiasa berulang. Ini menunjukkan adanya problem sistematis yang harus segera ditangani. Begitu pun, dari aparat penegak hukum yang masih lamban dalam menangani masalah ini. Hal ini senada dengan, apa yang disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, yang menyoroti aspek hukum dari kasus ini. Ia mengatakan bahwa praktik penjualan bayi merupakan bagian dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2007. Namun, penegakan hukum masih menghadapi tantangan besar karena kejahatan ini sering kali terjadi secara tersembunyi, dan pelakunya memanfaatkan teknologi, termasuk media sosial, untuk menjangkau calon pembeli.
“Regulasi terkait perdagangan orang perlu diperkuat, terutama dalam hal pengawasan transaksi yang melibatkan anak, apa lagi di era digital yang sangat memudahkan transaksi,” ujar Anis. (rri.com, 05-11-2024)
Kesulitan Ekonomi
Fitrahnya seorang ibu adalah dia akan melindungi anak-anaknya. Namun, tak sedikit dari para ibu yang merasakan impitan ekonomi, mereka melakukan hal yang di luar nalar. Mereka rela menjual bayi demi mendapatkan uang. Hal ini diperkuat dengan pendapat pakar kriminolg UGM, Soeprapto, sindikat penjualan bayi dapat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan ekonomi mendesak dan ketidaksiapan orang tua dalam mengurus anak. Ia menjelaskan bahwa penjualan bayi bukanlah fenomena baru di Indonesia, meski pada kasus terbaru ini modusnya lebih kompleks dengan adanya “pre-order” bayi bahkan sejak masih dalam kandungan. (rri.com, 05-11-2024).
“Kasus seperti ini sering kali terkait dengan kondisi ekonomi yang mendesak, dimana orang tua merasa tidak mampu membesarkan anak dan melihat penjualan bayi sebagai solusi cepat untuk mendapatkan uang,” kata Soeprapto.
Di tengah keadaan ekonomi yang sangat mencekik, memang benar hal ini menjadi beban. Ibu, tentu akan merasakan beratnya hidup, apabila harus membesarkan anak tanpa adanya dukungan keluarga, dan keuangan. Terlebih saat ini, banyak suami yang berpenghasilan kecil, tidak mampu mencukupi kehidupan sehari-hari. Oleh karena itulah, impitan ekonomi telah merubah fitrah seorang ibu, yang seharusnya dia mencintai anaknya, menjadi ibu yang tega menjual darah dagingnya sendiri.
Akibat Kapitalisme
Kita sangat merasakan hidup susah di bawah sistem kapitalisme, karena negara telah abai dalam menjamin kebutuhan masyarakat. Justru, saat ini kita melihat berbagai pungutan pajak semakin tinggi. Kebutuhan pokok hampir setiap tahun mengalami kenaikan, dan tidak adanya jaminan kesehatan dan pendidikan bagi rakyat kecil. Di dalam sistem ini, negara berlepas tangan dari tanggung jawab pengurusan umat. Sistem kapitalisme, meniscayakan rakyat mengurusi hidupnya sendiri, sedangkan para penguasa sibuk mengamankan jabatan, dan memperkaya diri sendiri.
Begitu pun dari segi keimanan, masyarakat sudah dijauhkan dari aturan Allah Swt, yaitu Islam. Hal demikian, telah membangun mental individu yang berorientasi pada materi, yang menghalalkan segala cara. Tampak pada kasus perdagangan bayi yang melibatkan bidan.
Solusi Islam
Banyak kasus perdagangan bayi adalah buah dari diterapkannya sistem rusak. Kapitalisme dari awal sudah menjauhkan Allah Swt dari manusia, sehingga manusia dibiarkan beraktivitas apapun, tanpa melihat haram dan haram. Sistem ekonomi kapitalisme telah menghilangkan peran negara dalam mengurusi manusia, menyebabkan masyarakat hidup tersiksa dengan segala kebijakan. Berbeda dengan Islam, negara sebagai ra’in, artinya penguasa mengelola urusan masyarakat dan memberikan jaminan kesejahteraan bagi setiap individu, dan keluarga.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara akan memastikan setiap rakyatnya mendapatkan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Sehingga, setiap ibu yang melahirkan anak tidak akan terbebani biaya hidup. Negara Islam pun, didukung dengan sistem pendidikan, yang mampu melahirkan karakter individu yang taat kepada Allah Swt, sehingga terhindar dari segala perbuatan yang bertentangan dengan syariat Allah Swt. Juga penerapan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya aturan Allah. Wallahu’alam.