Hidup Penuh Berkah dalam Sistem Khilafah

Oleh Nadisah Khoiriyah

 

Lensamedianews.com__

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (TQS al-A’raf [7]: 96)

 

 

Allah ﷻ sebagai Pencipta, sangat baik kepada ciptaan-Nya. Dia memberikan manusia modal untuk hidup di dunia. Modal yang membuat manusia bisa bahagia di dunia dan akhirat. Allah berikan kebutuhan fisik dan naluri sehingga hidup di dunia yang sesaat ini, bisa dilalui dengan penuh bahagia. Namun Allah jelaskan syaratnya yaitu seperti yang dijelaskan dalam ayat di atas.

 

 

Saat Allah ﷻ minta manusia untuk beriman dan bertakwa, maka itu adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Seperti yang Allah ﷻ sampaikan juga dalam surat Al Isra ayat 7
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri”

 

 

Agar manusia mudah untuk beriman dan menjalankan ketakwaan, Allah ﷻ juga berikan perangkat dan caranya. Maka Allah utus Rasulullaah ﷺ untuk mencontohkan bagaimana agar penduduk sebuah negeri itu beriman dan bertakwa. Beliau ﷺ hijrah dari Makkah ke Madinah untuk memberikan contoh kepada manusia, dan Muslim khususnya, bagaimana menjadi pemimpin yang menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman bernegara.

 

 

Rasulullah ﷺ adalah kepala negara pertama yang menjalankan sistem pemerintahan Islam. Selain menyampaikan wahyu Allah ﷻ, beliau juga menata kehidupan umat dengan hukum-hukum-Nya. Beliau mengangkat para pembantu dalam bidang pemerintahan (mu’âwin), seperti Abu Bakar ra. dan Umar bin Al-Khaththab ra. Beliau juga mengangkat sebagian sahabat menjadi hakim, gubernur, petugas zakat, petugas kharaj, kepala kepolisian, juga mengirimkan para duta besar, membentuk pasukan serta mengangkat para pimpinan mereka, juga memimpin peperangan atau mengirimkan ekspedisi jihad fi sabilillah.

 

 

Setelah Baginda Nabi ﷺ wafat, kepemimpinan kaum Muslim dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Para pemimpin ini kemudian disebut khalifah (pengganti), atau imam atau amirul mukminin. Nabi ﷺ telah berwasiat kepada kaum Muslim akan adanya para khalifah yang menggantikan beliau. Sabda beliau:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ

Dulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku. Sepeninggalku akan ada para khalifah dan jumlahnya banyak (HR Al-Bukhari)

 

 

Apa yang Rasulullaah ﷺ lakukan dan dilanjutkan oleh para khalifah selanjutnya adalah sebuah contoh penerapan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam sistem Khilafah. Para ulama salaf telah banyak membahas urgensi dan kewajiban mendirikan Khilafah.

 

 

Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).

 

 

Dalil kewajiban menegakkan Khilafah, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, tercantum dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Salah satunya adalah firman Allah SWT:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Terapkanlah hukum di tengah-tengah mereka dengan apa yang Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (TQS Al-Maidah [5]: 49)

 

 

Penerapan Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak mungkin dalam bentuk pemerintahan selain Khilafah. Ulama Tanah Air, KH Sulaiman Rasjid (w. 1395 H) dalam karyanya yang terkenal, Fiqih Islam, menulis, “Kaum muslim (ijmak yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan Khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum Muslim.” (Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam. Cet. 76, Bandung: Sinar Baru Algensindo hlm 495).

 

 

Khilafah atau imamah ini punya peran sentral dan strategis dalam tegaknya ajaran Islam. Dengan Khilafah urusan agama dan dunia akan terlaksana dan terjaga. Hal ini sebagaimana perkataan Imam Ibnu Khaldun bahwa tugas Khalifah/Imam adalah, “Menggantikan pemilik syariah (Nabi ﷺ) dalam menjaga agama dan mengurus dunia dengan agama.” (Ibn Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, hlm. 98).

 

 

Sejak itu kaum muslimin memimpin dunia. Dan dapat disaksikan dunia menjalani kehidupan yang penuh berkah. Khilafah Islamiyah, termasuk Khilafah Utsmaniyah, memang pantas dikagumi bahkan diteladani. Belum pernah ada sistem pemerintahan yang berkuasa hampir 14 abad dominan dengan tinta emas. Bersih, adil dan mampu melebur umat manusia dalam satu wadah kesatuan. Sesuatu yang belum pernah bisa diciptakan oleh sistem pemerintahan manapun, termasuk sistem demokrasi.

 

 

Ada tiga faktor yang menjadikan pemerintahan Khilafah kuat dan berhasil. Pertama: Ketakwaan individu, terutama para penguasanya. Ajaran Islam berhasil membentuk pribadi-pribadi beriman dan bertakwa. Mereka adalah sosok yang hanya takut kepada Allah ﷻ sehingga menjaga diri dari perbuatan haram, seperti menyelewengkan kekuasaan, serta melakukan korupsi, suap dan gratifikasi.

 

 

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra, harus merelakan unta-untanya disita sang ayah, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., untuk negara. Hal itu terjadi karena unta miliknya digembalakan di padang gembalaan hewan zakat milik Baitul Mal. Di mata Khalifah Umar ra., hal itu sudah termasuk memanfaatkan fasilitas milik negara untuk keuntungan pribadi walaupun hanya sekadar padang gembalaan. Ketakwaan inilah yang menjadikan pemerintahan Khilafah berjalan bersih dan berhasil menciptakan keberkahan bagi umat.

 

 

Kedua: Khilafah konsisten hanya menerapkan hukum-hukum Islam. Inilah konsekuensi dari iman dan takwa; keterikatan dan menjalankan syariah Allah ﷻ. Sepanjang era Kekhilafahan, para penguasa muslim tidak pernah menerapkan hukum selain dari syariah Islam.

 

 

Dalam penegakan hukum Islam melawan korupsi, misalnya, Sultan Muhammad IV dari Khilafah Utsmaniyah mendirikan dewan inspeksi yang mengawasi dan melaporkan sumber harta para pejabat. Ia juga menjatuhkan hukuman berat kepada pejabat negara yang memperkaya diri dengan cara ilegal. Selain wajib mengembalikan harta haram, para pelaku korupsi dan suap dicopot dari jabatannya dan dijatuhi hukuman penjara. Mantan hakim militer Anatolia, Veliyuddin Efendi, yang terbukti melakukan korupsi diasingkan ke Mytilene. Pengasingan maksimal dilakukan selama enam tahun. Pada abad ke-18, hukuman diperluas dengan hukuman mati dan denda.

 

 

Ketiga: Keterlibatan rakyat dalam amar makruf nahi mungkar. Inilah kontrol sosial yang bernilai tinggi sebagai buah iman dan takwa. Seorang Muslim tidak akan mendiamkan kemungkaran berjalan apalagi dilakukan oleh penguasa. Bahkan menasihati penguasa merupakan amal yang agung. Sabda Nabi ﷺ:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim (HR Abu Dawud)

 

 

Itulah jalan yang telah Allah ﷻ jelaskan lewat firman-Nya dan digambarkan oleh utusan-Nya, Rasulullaah ﷺ. Keberkahan kehidupan dalam bentuk keimanan yang bersih, amal salih yang mudah dilaksanakan, serta ketinggian peradaban terwujud dalam sistem Khilafah, sistem yang yang menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup.

Please follow and like us:

Tentang Penulis