Miras, Picu Luka di Prawirotaman
Oleh: Shafayasmin Salsabila
(MIMم_Muslimah Indramayu Menulis)
LenSaMediaNews.com__Miris, dua santri dari ponpes di Krapyak, Bantul terluka akibat penusukan dan penganiayaan di kawasan Prawirotaman, Kota Jogja, pada Rabu 23 Oktober 2024 malam. Ada tujuh pelaku yang telah tertangkap. Diduga motif awal karena ingin balas dendam, namun nampaknya salah sasaran.
Diketahui, sebelum melakukan kekerasan, para pelaku berkumpul di sebuah kafe dan mengonsumsi minuman keras (miras). Gelombang aksi massa dalam rangka melawan peredaran miras di DIY pun bermunculan. Salah seorang korlap mengatakan bahwa dari hasil pengamatan, setiap kali terjadi kekerasan, pemicunya adalah miras (detik.com, 3-11-2024).
Tentu, peristiwa Prawirotaman tidak sendirian. Sederet kasus berjejalan, akibat pengaruh miras, atau minuman beralkohol. Bahkan berujung pada hilangnya nyawa. Dalam laporan dari Korlantas Polri pada tahun 2023, faktor penyebab utama dalam sebagian besar kecelakaan fatal berasal dari pengaruh konsumsi miras.
Selain itu, miras pun bisa memicu kekerasan dalam rumah tangga, memantik persiteruan, sampai tragedi pembunuhan. Tak sedikit pula kasus pencurian, pemerkosaan, dsb, di mana pelakunya sedang mabuk atau dalam pengaruh minuman keras.
Perusak Akal
Selain mengancam kesehatan organ-organ tubuh, mengonsumsi miras, apalagi bila sudah kecanduan, dapat merusak kemampuan berpikir (akal). Padahal akal merupakan unsur penting dalam mengarungi kehidupan di dunia. Dengan akal, seorang manusia akan mampu mendapati hakikat penciptanya, juga dapat memahami berbagai hukum dalam setiap perbuatannya.
Rusaknya akal bisa membunuh iman, juga menutup jalan solusi bagi setiap permasalahan. Makanya tak aneh, jika kehancuran hadir dalam hidup seseorang lantaran miras. Bahkan bukan hanya merusak diri sendiri, tapi juga keluarga, masyarakat dan negara.
Tidak akan sampai pada keluhuran bagi sebuah negara, jika penduduk, terutama kalangan pemudanya, sudah kecanduan miras. Inilah mengapa perlu bagi semua pihak kembali merenungi hal fundamental dari masalah miras ini. Sedemikian merusaknya miras, namun mengapa peredarannya malah makin masif.
Dilestarikan Sistem
Tak dapat ditampik, miras menjadi produk “laris” dan didaulat sebagai mesin penghasil cuan yang besar. Bersama pijakan sistem ekonomi kapitalis, para pelaku bisnis tak lagi memperhitungkan halal-haram serta dampak negatif peredarannya. Selagi profitnya besar, apapun akan disediakan.
Lalu negara, memilih permisif dan membuatkan regulasinya, dengan kata sakti: membatasi, mengawasi, dan mengendalikan. Di samping itu, pajak (cukai) miras, yang statusnya haram tersebut, dijadikan salah satu pemasukan bagi negara. Penerimaan negara dari cukai ini, dalam APBN 2024, ditargetkan sekitar Rp321 triliun. Angkanya naik dari tahun sebelumnya, yakni Rp300,1 triliun.
Sebagaimana pebisnis miras, negara pun berjalan dalam rel sekuler. Tak dihiraukan hak Allah dalam regulasi ini. Peraturan dan kebijakan yang lahir dalam ranah publik, terputus dari jalur langit. Islam hanyalah kepercayaan, bukan sistem kehidupan.
Harus Tegas Tindak Miras
Hendaknya untuk kembali direnungkan bersama, setiap kerusakan yang terjadi di muka bumi, sejatinya ulah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. Jika pun umat muslim, terutama pemudanya, banyak yang berbelok arah dan menjadi pecandu miras, maka ini merupakan PR bagi negara. Karena sejatinya negara berkewajiban menjaga iman dan akal setiap warganya.
Pendidikan dan penanaman pemahaman akidah juga syariah, harus menjadi perhatian utama. Karenanya Allah telah memberikan petunjuk lewat Rasul-Nya, terkait tuntunan dalam hal habluminallah (hubungan manusia dengan Allah), habluminafsih (hubungan manusia dengan dirinya sendiri), dan habluminannas (hubungan manusia dengan manusia lainnya).
Adapun terkait miras, maka pengetahuan seputar halal-haram makanan masuk ke dimensi kedua, yakni habluminafsih tadi. Setiap warga muslim, harus sudah paham dalil, satu rasa, dan satu sikap bahwa segala yang memabukkan adalah khamr. Karenanya bisnis miras dihukumi haram.
Bukan hanya peminumnya, namun produsen, penjual, dan pengedarnya pun terhukumi berdosa. Bagi semua pihak yang terlibat akan ditindak dan diberikan sanksi.
Imam an-Nawawi telah menegaskan bahwa menjual khamr hukumnya haram, dan pengahasilan dari bisnis khamr pun haram. Bahkan keuntungannya dikatakan najis. Maka apakah yang najis ini layak dijadikan pemasukan bagi negara. Na’udzubillah.
Maka butuh mengubah wajah negara dari yang tadinya sekuler kepada ketakwaan. Agar yang halal dan yang haram tidak bercampur. Negara yang bertakwa dikenal dengan terminologi ‘khilafah’ atau ‘imamah’.
Dengannya iman dan akal setiap warga terjaga dari kerusakan. Satu pintu utama dari keburukan pun terkunci sudah. Santri ataupun penduduk di kawasan Prawirotaman tak perlu lagi ada yang terluka. Wallahualam. [LM/Ss]